
Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP) baru-baru ini mengumumkan bahwa mulai bulan depan, jatah makanan bagi sekitar satu juta pengungsi Rohingya di Bangladesh akan mengalami pemotongan hingga 50%. Keputusan ini diambil akibat kekurangan dana yang serius, yang telah mengancam kelangsungan bantuan kemanusiaan bagi komunitas yang sudah menderita ini.
Sejak melarikan diri dari tindakan keras militer Myanmar pada tahun 2017, mayoritas pengungsi Rohingya telah tinggal di kamp-kamp kumuh di Bangladesh, mengandalkan bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Namun, pemotongan jatah makanan ini semakin memperburuk kondisi mereka yang sudah mengalami kekurangan gizi kronis. WFP dalam surat resminya menyatakan bahwa mereka terpaksa mengurangi voucher makanan bulanan dari US$ 12,5 (sekitar Rp 200.000) menjadi hanya US$ 6 (sekitar Rp 98.000) per orang.
“Sayangnya, kami belum menerima pendanaan yang cukup, dan langkah-langkah penghematan biaya saja tidak cukup,” tulis pernyataan resmi WFP. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya masalah pendanaan yang dihadapi oleh lembaga ini, yang saat ini hanya berhasil mengumpulkan sekitar setengah dari target dana sebesar US$ 852 juta yang dibutuhkan untuk mendukung misi bantuan bagi pengungsi Rohingya.
Md Shamsud Douza, seorang pejabat dari badan pengungsi Bangladesh, mengungkapkan bahwa mereka akan segera bertemu dengan para pemimpin komunitas pengungsi untuk mendiskusikan dampak pemotongan jatah makanan tersebut.
Beberapa hari sebelum pengumuman pemotongan ini, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dijadwalkan untuk mengunjungi para pengungsi Rohingya, dalam rangka menjalin komunikasi lebih dekat dengan mereka menjelang Ramadan. Kunjungan ini diharapkan dapat menyuarakan harapan bagi solusi yang berkelanjutan dan peningkatan kondisi hidup para pengungsi.
Sejak tahun 2017, ketika sekitar 750.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, keadaan mereka tetap rentan. Banyak dari mereka membawa cerita mengerikan tentang kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, serta pembakaran desa yang mereka tinggalkan. Saat ini, Bangladesh berjuang untuk menampung populasi pengungsi yang terus meningkat, sementara pilihan bagi mereka untuk kembali ke Myanmar atau berpindah ke negara lain hampir tidak ada.
Saat ini, lebih dari satu juta pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp di sekitar Cox’s Bazar tidak diperbolehkan untuk bekerja, sehingga mereka hanya dapat bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Situasi ini memaksa sebagian pengungsi untuk mengambil risiko perjalanan melintasi laut demi mencari kehidupan yang lebih baik. Pada Januari lalu, lebih dari 250 orang Rohingya tiba di Indonesia setelah menempuh perjalanan berbahaya dan berisiko tinggi.
Situasi yang semakin sulit ini menunjukkan bahwa masa depan pengungsi Rohingya di Bangladesh semakin tidak menentu. Pemotongan jatah makanan akan membawa konsekuensi serius bagi kesehatan dan kesejahteraan pengungsi yang sudah berada di ambang keterpurukan. Dengan minimnya dukungan finansial untuk membantu mereka, banyak yang khawatir bahwa penderitaan ini akan terus berlanjut tanpa adanya solusi yang jelas dan berkelanjutan untuk krisis yang telah berlangsung lama ini.