
Pasar surat utang Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius akibat ketidakpastian yang disebabkan oleh kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Isu perang tarif yang kembali mencuat menjadi sentimen utama yang membebani pergerakan pasar surat utang, mendorong investor asing untuk bersikap “wait and see”. Hal ini menyebabkan dominasi investor domestik di pasar obligasi diprediksi tetap kuat dalam waktu dekat.
Fikri C Permana, seorang ekonom dari KB Valbury Sekuritas, menyebutkan bahwa ketidakpastian dalam negosiasi dagang antara AS dan negara mitranya memberi dampak signifikan terhadap pasar surat utang. “Negosiasi yang berlarut-larut dan perkiraan perlambatan ekonomi global, termasuk Indonesia, memperburuk situasi di pasar,” ungkapnya dalam sebuah wawancara.
Data dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung melambat di masa mendatang. “Ini menjadi faktor tambahan yang perlu dicermati oleh pelaku pasar dalam pekan-pekan yang akan datang,” tambah Fikri. Menurut analisisnya, kondisi ini dapat menyebabkan investor lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi.
Pengaruh aliran modal asing pun tidak bisa diabaikan. Saat ini, kepemilikan surat utang oleh investor asing sudah cukup rendah, sehingga risiko outflow atau pengeluaran modal asing dianggap terbatas. Namun, potensi masuknya dana asing baru diperkirakan masih tertahan. “Investor asing cenderung menunggu kepastian arah perekonomian global dan domestik. Selama ketidakpastian masih tinggi, pasar surat utang negara akan tetap dikuasai oleh investor domestik,” kata Fikri.
Dalam konteks ini, lelang surat berharga syariah negara (SBSN) yang memiliki target indikatif sebesar Rp 10 triliun diperkirakan akan tetap menarik minat investor lokal yang menginginkan instrumen investasi yang lebih aman. “Permintaan untuk SBSN kemungkinan akan tetap tinggi dan bahkan berpotensi oversubscribe,” imbuhnya.
Sebagai tambahan, jelas Fikri, saat ini investor lebih memilih surat utang dengan tenor antara 2 hingga 10 tahun. “Tingginya volatilitas di pasar obligasi mendorong mereka untuk mengutamakan instrumen berjangka pendek hingga menengah,” ujarnya. Ini menunjukkan bahwa investor lebih mengutamakan keamanan dalam masa ketidakpastian yang menghinggapi pasar.
Revitalisasi pasar obligasi dan upaya diversifikasi instrumen investasi menjadi langkah penting bagi Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian global. Dalam situasi ini, pemerintah diharapkan mampu memberikan kebijakan yang mendukung, terutama dalam meredakan ketegangan yang timbul akibat perang tarif yang dikobarkan oleh Amerika Serikat.
Dengan berbagai tantangan yang ada, perhatian terhadap perkembangan negosiasi dagang global juga menjadi penting. Ketidakpastian dalam hubungan dagang antara AS dan negara mitranya dapat mempengaruhi sentimen investor di pasar surat utang. Oleh karena itu, pelaku pasar diharapkan selalu memantau situasi global dan domestik untuk melakukan keputusan investasi yang tepat.
Melihat kondisi ini, pasar surat utang Indonesia ke depannya akan terus berada dalam bayang-bayang ketidakpastian. Investor domestik akan terus mendominasi pasar, sementara investor asing cenderung menunggu kepastian sebelum mengambil keputusan. Keputusan yang akan diambil oleh pemerintah dan lembaga keuangan internasional dalam masa-masa mendatang akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas dan pertumbuhan pasar surat utang Indonesia.