
Kasus bunuh diri Risma Aulia, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dari Universitas Andalas, telah mengguncang publik, terutama setelah penetapan Zara Yupita Azra sebagai salah satu tersangka terkait dugaan perundungan yang dialami oleh Risma. Kejadian memilukan ini terjadi pada Maret 2024, ketika Risma ditemukan meninggal di asrama rumah sakit pendidikan, diduga akibat tekanan berat, termasuk perundungan dari seniornya.
Dalam penyidikan yang dilakukan Polda Sumatera Barat, ditemukan bukti bahwa Risma mengalami bullying yang bersifat verbal dan mental. Proses penyidikan ini menghasilkan penetapan Zara Yupita Azra, yang merupakan seorang dokter muda, sebagai tersangka pembullyan. Polisi mencatat bahwa tindakan Zara dan beberapa tersangka lainnya dianggap telah mengarah pada keputusan ekstrem yang diambil oleh Risma.
Profil orang tua Zara, yang dalam kasus ini terungkap sebagai sumber perhatian publik, dimulai ketika ibunya, Pipit Devitri, angkat bicara via media sosial. Dalam komentar yang beredar, Pipit menyebut bahwa putrinya adalah korban dari proses peradilan yang dianggap sesat. Ia mengklaim bahwa penyebab kematian Risma adalah overdosis akibat suntikan obat, dan menuduh bahwa anaknya dituduh tanpa dasar yang kuat. Pernyataan ini memicu reaksi besar dari masyarakat, yang mulai mengecam tindakan dan perilaku Zara.
Reaksi publik semakin meluas saat kabar mengenai kelulusan Zara yang semula direncanakan lebih cepat dari jadwal muncul. Banyak yang merasa bahwa kelulusan ini tidak pantas mengingat statusnya sebagai tersangka dalam kasus yang menelan korban jiwa. Publik pun bersuara, berharap agar Zara mendapatkan hukuman yang layak. Beberapa kritik muncul di media sosial, dengan netizen menilai bahwa perilaku anak mencerminkan didikan orang tuanya.
Di samping itu, perkembangan lain dalam kasus ini menunjukkan bahwa kelulusan Zara kini ditangguhkan, menandakan dampak serius dari kritik publik terhadap situasi tersebut. Melihat lebih dalam mengenai tindakan hukum, Zara dikenakan pasal terkait perundungan yang mengarah pada kematian, dan ia bukan satu-satunya tersangka. Penyidikan masih berlangsung dengan penyidik memeriksa puluhan saksi, termasuk mahasiswa dan dosen PPDS.
Keluarga Risma Aulia mencatat bahwa mereka tidak akan mengupayakan penyelesaian secara internal dan menuntut penegakan hukum yang adil. Mereka berharap agar pelaku, termasuk Zara, mendapatkan hukuman maksimal sesuai dengan perbuatannya. Desakan publik terhadap reformasi di bidang pendidikan dokter spesialis semakin keras, dan pihak Universitas Andalas serta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah dipanggil untuk meninjau sistem pendidikan guna mencegah kejadian serupa di masa depan.
Kasus ini menjadi sorotan kritis terhadap budaya pendidikan yang selama ini dianggap terlalu menekankan pada hierarki dan senioritas, yang berpotensi menghasilkan suasana intimidasi. Melihat reaksi masyarakat, banyak yang menyerukan pentingnya perubahan dalam lingkungan pendidikan medis agar keamanan dan kesejahteraan mahasiswa dapat terjaga.
Dengan berjalannya waktu, proses penyidikan berlanjut, dan banyak pihak berharap agar keadilan dapat ditegakkan dalam kasus yang telah membawa dampak begitu besar, baik bagi diri Risma, keluarga, maupun institusi pendidikan yang terlibat. Perkembangan kasus ini diharapkan menjadi titik awal untuk mendorong kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan toleransi di lingkungan pendidikan.