
Industri asuransi di Indonesia memasuki babak baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang berkaitan dengan polis asuransi menjadi inkonstitusional bersyarat. Putusan tersebut berimplikasi langsung pada bagaimana perusahaan asuransi dapat mengelola perjanjian polis, khususnya mengenai pelaksanaan pembatalan perjanjian. Dalam konteks ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan rincian mengenai standar polis baru yang akan diterapkan oleh perusahaan asuransi di Tanah Air.
Iwan Pasila, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, menjelaskan bahwa peraturan baru ini bertujuan untuk menambah kejelasan dan mengurangi potensi sengketa klaim di masa mendatang. "Kita perlu membuat klausul pembatalan kontrak asuransi yang ditegaskan dalam kontrak di awal," ungkapnya. Hal ini menunjukkan pentingnya kesepakatan yang jelas antara perusahaan asuransi dan tertanggung sebelum menjalani perjanjian.
Ada beberapa poin penting terkait rincian standar polis baru yang telah dibahas oleh OJK dan asosiasi perusahaan asuransi:
Klausul Pembatalan: Klausul mengenai pembatalan polis harus jelas dan dicantumkan di awal kontrak. Ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik bagi nasabah tentang proses dan konsekuensi yang mungkin terjadi saat terjadi pembatalan.
Syarat Pengajuan Klaim: Dalam standardisasi polis, syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mengajukan klaim akan dibuat tidak memberatkan nasabah. Iwan menekankan pentingnya membuat pengajuan klaim yang mudah diakses oleh semua nasabah, tanpa adanya ketentuan yang berpotensi merugikan mereka.
- Proses Klaim: OJK juga berfokus pada standar proses klaim yang harus diikuti oleh semua perusahaan asuransi. Saat ini, perusahaan asuransi yang berbeda menerapkan berbagai alasan untuk menolak klaim. "Kami ingin agar proses penolakan klaim ini selaras dan memiliki standardisasi,” tegas Iwan. Penolakan klaim yang tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya akan menambah kebingungan di kalangan masyarakat dan melanggar prinsip transparansi.
Iwan menambahkan, OJK saat ini masih menunggu asosiasi perusahaan asuransi untuk menyerahkan draft standar polis baru. "Setelah itu, OJK akan mensyaratkan bahwa semua perusahaan asuransi harus menggunakan polis standar tersebut dalam menawarkan produk baru," jelasnya. Ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap industri asuransi di Indonesia.
Langkah ini, menurut OJK, bukan sekedar untuk mengikuti ketentuan hukum, tetapi juga untuk memastikan bahwa semua produk asuransi yang ditawarkan di pasaran memenuhi standar yang konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, OJK berupaya menciptakan ekosistem perasuransian yang lebih adil, dimana konsumen mendapatkan hak mereka dengan jelas dan tanpa keraguan, serta perusahaan asuransi dapat beroperasi dalam kerangka hukum yang lebih solid.
Inisiatif OJK ini juga mencerminkan komitmen untuk memperbaiki industri asuransi di Indonesia setelah banyaknya keluhan masyarakat terkait transparansi dan keadilan dalam proses klaim. Dengan adanya standar polis baru, diharapkan akan ada pengurangan sengketa dan peningkatan pengalaman nasabah dalam berinteraksi dengan produk asuransi. Proses ini akan menandai langkah maju yang signifikan dalam modernisasi industri asuransi Tanah Air.