
Industri asuransi di Indonesia tengah mengalami transformasi signifikan, seiring dengan upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mendorong standardisasi polis dan perbaikan proses underwriting. Langkah ini diambil setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional bersyarat, sehingga mengubah dinamika klaim dan perlindungan nasabah.
Sejak awal tahun 2024, industri asuransi telah menunjukkan tren peningkatan yang tajam dalam beban usaha, di mana OJK mencatat beban usaha perusahaan asuransi umum melonjak dari Rp1,37 triliun menjadi Rp16,95 triliun dalam periode Januari hingga November 2024. Industri asuransi jiwa pun tidak kalah signifikan, dengan peningkatan beban usaha dari Rp1,59 triliun menjadi Rp19,93 triliun selama periode yang sama.
Iwan Pasila, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, mengatakan bahwa meskipun beban usaha meningkat, hal ini tidak akan menjadi masalah jika disertai dengan peningkatan pendapatan premi. "Harusnya kenaikan beban tidak masalah, asal diikuti dengan kenaikan pendapatan premi. Ini yang kami dorong agar perusahaan asuransi menerapkan prinsip dasar dalam penetapan premi dan underwriting, serta melakukan proses yang baik dalam menetapkan kewajibannya," ungkap Iwan dalam sebuah wawancara.
OJK kini fokus pada tiga aspek utama untuk meningkatkan standar industri asuransi, yaitu:
Perbaikan Ketentuan Polis: OJK mendorong perusahaan asuransi untuk menyederhanakan dan menstandarisasi ketentuan polis agar lebih mudah dipahami oleh nasabah. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kebingungan dan meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap produk asuransi yang ditawarkan.
Perbaikan Proses Klaim: Penanganan klaim yang lebih transparan dan efisien adalah prioritas utama OJK. Dengan adanya standardisasi, diharapkan klaim dapat diproses lebih cepat, sehingga nasabah merasakan manfaat dari perlindungan asuransi yang telah mereka pilih tanpa berlarut-larut.
- Perbaikan Proses Underwriting: OJK juga meminta agar proses underwriting dilakukan dengan lebih disiplin untuk memitigasi risiko yang berlebihan. Proses seleksi risiko yang baik akan memastikan bahwa perusahaan asuransi dapat memenuhi kewajiban terhadap klaim yang diajukan nasabah.
Dalam rangka implementasi kebijakan ini, OJK telah mengadakan pertemuan dengan berbagai asosiasi perusahaan asuransi dan menjadwalkan pertemuan lanjutan setelah 9 Februari 2025 untuk mendiskusikan langkah-langkah yang perlu diambil. Iwan menekankan pentingnya kerjasama antara OJK dan industri asuransi untuk bermanfaat bagi nasabah dan perusahaan itu sendiri. "Standardisasi proses di polis, pengajuan asuransi, dan seleksi risiko dimaksudkan agar perusahaan asuransi secara bersama-sama mendorong perilaku yang baik dalam memberikan perlindungan yang dibutuhkan oleh nasabah," pungkasnya.
Dengan adanya upaya standardisasi dan perbaikan proses ini, diharapkan industri asuransi di Indonesia semakin mampu untuk memberikan layanan yang optimal kepada nasabah. Selain itu, diharapkan juga dapat menarik kepercayaan publik terhadap sektor asuransi secara keseluruhan, mengingat pentingnya perlindungan finansial di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. OJK berkomitmen untuk terus memantau perkembangan dalam industri ini agar perusahaan asuransi dapat beroperasi secara transparan dan bertanggung jawab.