
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencatatkan pelemahan pada awal perdagangan di pasar spot, Selasa (8/4/2025). Pada pukul 09.32 WIB, nilai tukar rupiah turun 18 poin atau 0,11%, mencapai Rp 16.838 per dolar AS. Penurunan ini terjadi di tengah kondisi pasar mata uang Asia yang bervariasi.
Data dari Bloomberg menunjukkan bahwa pada saat yang sama, beberapa mata uang di kawasan Asia mengalami penurunan nilai tukar. Dolar Hong Kong, misalnya, melemah sebesar 0,04% menjadi 7,77 dolar Hong Kong per dolar AS. Selanjutnya, rupee India mengalami penurunan yang lebih signifikan, yakni 0,71%, menjadi 85,8 rupee per dolar AS. Selain itu, yuan China juga ambles 0,17% menjadi 7,3 yuan per dolar AS, sementara ringgit Malaysia turun sebesar 0,16% menjadi 4,48 ringgit per dolar AS.
Di sisi lain, meski terdapat sejumlah mata uang Asia yang melemah, ada juga yang mencatatkan penguatan. Yen Jepang, misalnya, naik 0,30% menjadi 147,3 yen per dolar AS. Dolar Singapura bertambah nilai 0,27% menjadi 1,34 dolar Singapura per dolar AS, sementara won Korea dan peso Filipina masing-masing menguat sebesar 0,27% dan 0,35% terhadap dolar AS. Baht Thailand juga mengalami penguatan hingga 0,44%, menjadi 34,5 baht per dolar AS.
Pelemahan nilai tukar rupiah saat ini dapat dihubungkan dengan dinamika yang terjadi di pasar keuangan global. Berita terbaru mengindikasikan bahwa langkah-langkah kebijakan moneter yang lebih ketat di negara-negara maju, termasuk di AS, dapat mempengaruhi arus modal masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Para analis mengingatkan bahwa pelaku pasar mungkin bereaksi terhadap berbagai faktor global yang mengarah pada sentimen investor yang lebih hati-hati.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) terus memantau pergerakan nilai tukar dan akan melakukan intervensi jika diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai rupiah. Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Arief Budi Santoso, menegaskan bahwa stabilitas nilai tukar adalah bagian penting dari kebijakan moneter Indonesia. “Kami akan tetap berhati-hati dan siap melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa rupiah tetap dalam batas yang wajar,” ungkapnya.
Fenomena penguatan dolar AS bisa jadi berpengaruh negatif pada neraca perdagangan Indonesia, terutama untuk sektor-sektor yang bergantung pada impor bahan baku. Para ekonom memperkirakan bahwa jika nilai tukar rupiah terus melemah, biaya produksi di dalam negeri dapat meningkat, yang pada gilirannya bisa mengganggu daya saing produk-produk Indonesia di pasar internasional.
Beragam sentimen negatif ini ditambah dengan ketidakpastian yang muncul dari perkembangan ekonomi global, seperti potensi resesi di Eropa dan pandangan yang beragam mengenai kebijakan suku bunga Federal Reserve AS.
Meskipun tekanan pada nilai tukar rupiah terlihat jelas, ada beberapa kalangan yang optimis bahwa pemulihan ekonomi pasca-pandemi akan membawa dampak positif jangka panjang bagi perekonomian Indonesia. Para pelaku pasar juga berharap bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan BI dapat membantu menumbuhkan kembali kepercayaan investor .
Dengan perkembangan yang terus berubah di pasar mata uang global, para pelaku usaha di Indonesia dituntut untuk lebih fleksibel dan adaptif terhadap kondisi ekonomi yang ada. Mengingat situasi ini, penting bagi semua pihak untuk terus mengikuti tren pasar dan menjaga strategi yang tepat sesuai dengan kondisi terkini.