
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kini menghadapi gelombang protes besar-besaran di Yerusalem setelah ia memutuskan untuk melanjutkan perang di Gaza, mengakhiri gencatan senjata dengan Hamas yang telah berlangsung selama dua bulan. Serangkaian demonstrasi dilakukan oleh ribuan orang di luar Knesset, parlemen Israel, yang mengecam pilihan politik Netanyahu di tengah meningkatnya ketegangan regional.
Di Jalan Raya 1, jalan utama yang menghubungkan Tel Aviv dengan Yerusalem, pengunjuk rasa membuka spanduk bertuliskan, “Masa depan koalisi atau masa depan Israel,” yang menandakan bahwa selama 18 bulan konflik ini, Netanyahu dinilai lebih memprioritaskan kelangsungan koalisi politiknya dibandingkan keamanan warganya. Menurut para pengunjuk rasa, langkah ini bukan hanya mengancam keselamatan para sandera Israel, tetapi juga merugikan kehidupan masyarakat Palestina di Gaza.
Kemarahan publik terhadap kebijakan pemerintah semakin meningkat setelah serangan terbaru yang diluncurkan oleh Israel di Gaza, yang dilaporkan menewaskan lebih dari 400 orang dan melukai ratusan lainnya, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Gaza. Sementara itu, militer Israel mengklaim melancarkan “aktivitas darat yang ditargetkan” untuk merebut kembali wilayah yang sebelumnya dikuasai.
Netanyahu tampaknya menggunakan kembalinya ofensif militer untuk memperkuat koalisinya yang rapuh, terutama di tengah persidangan kasus korupsi yang tengah dihadapinya. Dengan mengakhiri gencatan senjata, ia berusaha mendapatkan dukungan dari menteri sayap kanan ekstrem, Itamar Ben-Gvir, yang sebelumnya keluar dari pemerintahan sebagai bentuk protes terhadap kesepakatan tersebut. Setelah serangan di Gaza, partai Ben-Gvir, Jewish Power, mengumumkan akan kembali bergabung dengan koalisi pemerintah.
Namun, persepsi publik terhadap langkah ini cukup berbeda. Jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa mayoritas warga Israel, lebih dari 70%, mendukung negosiasi untuk mengakhiri pertempuran dan penarikan pasukan Israel dari Gaza sebagai imbalan atas pembebasan para sandera. Menariknya, bahkan 61,5% pemilih dari partai Likud yang dipimpin Netanyahu juga mendukung upaya untuk melanjutkan gencatan senjata.
Ribuan pengunjuk rasa di luar Knesset menunjukkan bahwa masyarakat Israel semakin terpecah oleh keputusan pemerintah. Yuval Yairi, seorang seniman dari Yerusalem yang ikut berdemonstrasi, menyatakan keyakinan bahwa keputusan untuk melanjutkan pertempuran ini merupakan langkah politis yang mengedepankan kepentingan Netanyahu untuk mempertahankan dukungan sekutu sayap kanannya menjelang pemungutan suara anggaran yang dijadwalkan pada akhir bulan ini. Dia menyuarakan kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya perang saudara dan merosotnya kepercayaan publik terhadap demokrasi di Israel.
Elias Shraga, ketua Gerakan untuk Pemerintahan Berkualitas di Israel, juga menekankan bahwa langkah Netanyahu dalam melancarkan perang di Gaza lebih bertujuan untuk mempertahankan kekuasaannya daripada untuk kepentingan keamanan negara. Shraga menyatakan bahwa keputusan ini sangat membahayakan dan menimbulkan risiko bagi keamanan rakyatnya, dengan mengorbankan nyawa demi kepentingan politik pribadi.
Netanyahu, di sisi lain, berargumen bahwa tekanan militer terhadap Hamas merupakan cara untuk memastikan kembalinya para sandera. Namun, tindakan ini menjadikan masyarakat sipil sebagai pihak yang paling terpengaruh, baik di Israel maupun Gaza.
Perdana menteri pada bulan ini dijadwalkan memberikan kesaksian terkait kasus korupsinya, yang terpaksa dibatalkan akibat operasi militer yang dimulai di Gaza. Sebagai respons terhadap situasi ini, pemimpin oposisi Yair Lapid ikut berpartisipasi dalam demonstrasi, dengan menyatakan bahwa protes tersebut bertujuan untuk memperingatkan pemerintah agar tidak bertindak semena-mena dan untuk melindungi demokrasi di Israel.
Di tengah ketegangan yang semakin meningkat, demonstrasi menjadi representasi dari suara masyarakat yang mendambakan perubahan dan solusi damai atas konflik yang terus berlarut-larut. Para pengunjuk rasa bersatu dengan teriakan dan simbol, menunjukkan bahwa harapan untuk masa depan yang lebih baik masih ada di tengah kerumitan situasi politik dan militer saat ini.