Monolog Gibran soal Bonus Demografi Dihujat, Anak Muda Terpinggirkan

Video monolog Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka mengenai bonus demografi menuai respons beragam dari masyarakat. Dalam video berdurasi 6 menit 19 detik yang diunggah di kanal YouTube pribadinya dengan judul “Generasi Muda, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia”, Gibran menyampaikan bahwa Indonesia akan memiliki peluang besar melalui bonus demografi yang diperkirakan terjadi antara tahun 2030 hingga 2045. Ia menekankan, “Ini adalah kesempatan emas kita untuk mengelola bonus demografi agar bukan menjadi sekadar angka statistik, tapi menjadi jawaban untuk masa depan Indonesia.”

Namun, narasi yang dibangun Gibran ini dianggap jauh dari realitas yang dihadapi generasi muda saat ini. Meskipun beberapa pihak membela Gibran atas upaya komunikasi publik ini, banyak akademisi menilai pemaparan tersebut klise dan tidak menjawab persoalan yang relevan dengan kondisi riil pemuda. Video tersebut bahkan mendapat komentar sinis dan dislike masif dari warganet. Data menunjukkan rasio dislike mencapai 1 banding 12 dibandingkan like, yang menjadi sorotan dalam video reaksi kreator Andovi da Lopez.

Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Juri Ardiantoro menganggap unggahan tersebut sebagai upaya untuk mengoreksi bias informasi yang beredar di publik, menekankan pentingnya pejabat menyampaikan informasi yang akurat. Ia berpendapat bahwa penyampaian informasi oleh pejabat publik melalui media sosial merupakan bagian dari tugas untuk menjaga keterbukaan.

Di sisi lain, akademisi seperti Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman, Hariyadi, mengungkapkan kekhawatirannya terkait kondisi anak muda saat ini yang terlihat rentan dan terpinggirkan. Ia mengatakan, “Anak muda sekarang terlihat rentan, bahkan terpinggirkan yang langsung atau tidak merupakan dampak dari kebijakan negara itu sendiri.” Hal ini menjadi masalah serius saat anak muda hanya dianggap sebagai objek suara dalam pemilu, bukannya sebagai aktor aktif dalam penyusunan kebijakan yang menentukan arah bangsa.

Peneliti dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, juga memberikan kritik tajam terhadap narasi bonus demografi. Ia menekankan bahwa situasi nyata saat ini justru menunjukkan potensi bencana demografi dengan tingginya angka pengangguran di kalangan pemuda. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk usia 15–19 tahun mencapai 22,34 persen, serta 15,34 persen untuk usia 20–24 tahun, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 4,91 persen. Bahkan, diperkirakan hampir 10 juta Generasi Z di Indonesia masuk dalam kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training).

“Ini berarti banyak generasi muda kita yang tidak punya penghasilan tetap, tapi harus menghadapi biaya hidup yang terus melonjak,” ungkap Huda. Banyak anak muda terjebak dalam sektor informal dan menjadi setengah pengangguran, tanpa akses terhadap jaminan sosial dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Ia menegaskan bahwa tanpa adanya pembenahan struktural, narasi bonus demografi yang disampaikan hanya akan menjadi retorika kosong belaka.

Hariyadi menambahkan bahwa untuk mewujudkan bonus demografi yang sebenarnya, pemerintah tidak cukup mengandalkan optimisme atau pidato motivasi. Diperlukan keberpihakan nyata dari pemerintah, termasuk merevisi kebijakan seperti UU Cipta Kerja yang berkontribusi pada gelombang PHK dan stagnasi bisnis rintisan. “Anak muda tidak dapat menjadi jawaban di masa depan jika regulasi-regulasi yang menindas masih terus dipertahankan,” katanya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Huda, jika masalah struktural yang dihadapi generasi muda ini tidak diatasi, mereka akan menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Meskipun narasi bonus demografi menjadi semakin populer, realitas yang dihadapi oleh anak muda di Indonesia menunjukkan tantangan yang lebih besar dan menduduki posisi yang lebih rentan daripada yang diungkapkan dalam monolog Gibran.

Berita Terkait

Back to top button