Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat menolak pengesahan Undang-Undang (UU) TNI di Kota Malang, Jawa Timur, berujung ricuh pada Minggu (23/2/2025). Kericuhan ini menyebabkan dua pos penjagaan di Kantor DPRD Kota Malang terbakar dan memakan puluhan luka di antara demonstran serta aparat TNI/Polri yang bertugas. Menurut data yang dihimpun, empat orang dari massa aksi dan tujuh aparat mengalami luka-luka dan harus mendapatkan perawatan medis di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang.
Aksi unjuk rasa yang dihadiri ratusan demonstran dimulai sekitar pukul 16.00 WIB. Para pengunjuk rasa tiba dengan membawa poster dan spanduk berisi tuntutan penolakan terhadap pengesahan UU TNI. Dalam aksi tersebut, massa mencorat-coret pagar dan tembok Kantor DPRD serta jalan raya di sekitarnya sebagai bentuk protes. Situasi memanas ketika, pada pukul 18.00 wib, massa mulai melempar batu dan petasan ke arah Gedung DPRD, merusak instalasi CCTV, serta membakar pos keamanan di bagian utara dan selatan gedung.
Menyusul meningkatnya ketegangan, aparat kepolisian dan tenaga keamanan dari TNI merespons dengan tindakan represif. Sebagian besar demonstran mengaku frustasi, merasa suara mereka tidak didengar di tingkat legislatif, terlepas dari upaya mereka menyampaikan aspirasi. Wakil Ketua DPRD Kota Malang, Rimza, mengungkapkan penyesalannya terkait kekisruhan yang terjadi, menilai tindakan anarkistis tersebut tidak mencerminkan tujuan awal aksi.
Penolakan terhadap RUU TNI ini mencuat setelah pengesahan Rancangan UU menjadi undang-undang oleh DPR RI pada Kamis (20/3/2025). Tidak hanya di Malang, aksi serupa juga berlangsung di beberapa daerah, dipicu oleh kekhawatiran publik terkait potensi peran TNI yang semakin besar dalam kehidupan civil. Pengesahan tersebut menambah pasal-pasal yang mengatur tentang peran dan kewenangan tentara, disertai dengan aksi penambahan usia pensiun bagi anggota TNI aktif.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengeluarkan pernyataan tegas menolak revisi UU TNI yang dianggap sebagai langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. Menurut mereka, munculnya undang-undang ini berpotensi mengembalikan fungsi dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dimana tentara menjadi aktor politik dan ekonomi. Para aktivis berpendapat bahwa hal ini dapat mengancam independensi peradilan dan memperkuat praktik impunitas bagi anggota TNI.
Banyak pihak mengaitkan pengesahan UU TNI dengan upaya politik untuk mengintegrasikan kembali TNI ke dalam struktur pemerintahan yang lebih luas. Para pengkritik mencemaskan jika RUU ini disahkan, maka akan ada penumpukan perwira non-job yang justru akan menyebabkan ketidakadilan di banyak sektor, bahkan berpotensi memicu pelanggaran hak asasi manusia yang lebih besar.
Sejak awal, penolakan terkait RUU TNI sudah mencuat dalam berbagai forum diskusi dan demonstrasi. Para pengunjuk rasa mengklaim bahwa pengesahan RUU TNI tanpa melibatkan dialog terbuka dengan masyarakat adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Dalam konteks ini, demonstrasi di Malang bukan hanya sebagai aksi tolak terhadap satu undang-undang, tetapi juga sebagai simbol protes terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah tentang pelibatan tentara dalam urusan sipil.
Dengan situasi yang semakin tidak terkendali, aparat kepolisian terus melakukan penangkapan terhadap sejumlah demonstran yang dianggap memicu kericuhan. Aksi demonstrasi yang seharusnya menjadi wadah untuk menyampaikan aspirasi beralih menjadi kekerasan yang mengakibatkan luka-luka di kedua belah pihak. Kejadian ini menunjukkan perlunya dialog konstruktif antara negara dan masyarakat untuk menjaga stabilitas dan memahami aspirasi publik secara lebih mendalam.