Maki: Koruptor Harus Dipenjara Seumur Hidup, Bukan Hanya 50 Tahun!

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (Maki), Boyamin Saiman, memberikan pernyataan tegas mengenai hukuman untuk pelaku korupsi. Dalam pandangannya, hukuman penjara selama 50 tahun tidak lagi cukup sebagai efek jera bagi koruptor, terutama bagi mereka yang merugikan negara dengan angka lebih dari Rp 100 miliar. Menurutnya, para pelaku korupsi seharusnya dijatuhi hukuman seumur hidup untuk memberikan pelajaran yang berarti.

Boyamin mengatakan, “Jika seseorang sudah berusia 30 tahun dan dihukum 50 tahun, mereka tetap bisa menikmati kebebasan di usia tua. Lebih baik langsung dipenjara seumur hidup tanpa remisi agar benar-benar jera.” Pernyataan ini disampaikan kepada Octopus pada Jumat (14/3/2025), menunjukkan keputusasaannya dalam menghadapi maraknya kasus korupsi yang terus terjadi.

Mahkamah Agung (MA), sesuai dengan arahan terbaru, juga mendorong hakim untuk menjatuhkan hukuman seumur hidup terhadap koruptor yang merugikan negara di atas Rp 100 miliar. Boyamin menekankan bahwa batasan kerugian ini bahkan bisa diturunkan menjadi Rp 10 miliar, sehingga lebih banyak pelaku korupsi yang dapat dikenakan hukuman berat. Hal ini menunjukkan keseriusan Maki untuk memperkuat penegakan hukum terhadap korupsi di Indonesia.

Salah satu poin penting dalam usulan Boyamin adalah pelaksanaan hukuman seumur hidup harus dilakukan tanpa adanya remisi, pengurangan masa tahanan, atau bebas bersyarat. Ini berarti koruptor harus menjalani masa hukuman penuh tanpa celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk mempercepat kebebasan mereka. Dengan cara ini, diharapkan para pelaku korupsi akan berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan yang merugikan masyarakat.

Selain penjatuhan hukuman berat, Boyamin juga mengusulkan perampasan aset sebagai langkah krusial untuk memastikan bahwa para pelaku korupsi kehilangan hasil kejahatan mereka. Tanpa perampasan aset, meskipun dipenjara, para koruptor masih bisa menikmati hasil dari kejahatan mereka secara tidak langsung. “Orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi jika tahu mereka akan kehilangan segalanya, termasuk aset yang sudah dikumpulkan,” tegasnya.

Lebih jauh, Boyamin juga mengusulkan penerapan hukuman mati bagi koruptor dalam kondisi tertentu seperti saat bencana nasional. Ia mengkritik pandangan yang berpendapat bahwa hukuman berat bagi koruptor melanggar hak asasi manusia. Menurutnya, justru tindakan korupsi yang merugikan masyarakat merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar. “Mereka mengambil uang yang seharusnya untuk rakyat, menyebabkan kemiskinan, menurunkan kualitas pendidikan, dan membuat rakyat sulit mendapatkan layanan kesehatan,” ujarnya.

Dari sudut pandang internasional, Boyamin merujuk pada praktik di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, yang tetap menjatuhkan hukuman berat termasuk hukuman mati dalam kasus tertentu. Ia mengingatkan bahwa Indonesia juga tidak perlu ragu dalam memberikan keadilan bagi rakyat dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku korupsi.

Boyamin menekankan perlunya penguatan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung dalam menuntut hukuman yang berat untuk kasus-kasus korupsi besar. Ia menggarisbawahi, “Sudah ada hukuman seumur hidup bagi koruptor, terutama jika merugikan rakyat kecil, seperti kasus Jiwasraya dan Asabri.”

Dengan tuntutan agar semua koruptor dihukum seumur hidup tanpa potongan, Maki berharap dapat menciptakan efek jera yang nyata dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Boyamin juga menambahkan, pencegahan korupsi harus dilakukan melalui reformasi sistem yang lebih transparan dan bebas dari celah hukum, sehingga tindakan korupsi tidak terulang di masa depan.

Back to top button