Libatkan Unsur Tanah Jarang, Perang Dagang AS-China Seperti CoD

JAKARTA – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin menunjukkan intensitas yang mirip dengan plot cerita dari permainan video populer, Call of Duty: Black Ops II. Di tengah kekhawatiran global yang berkembang, para gamer mulai menyadari kesamaan yang mencolok antara peristiwa nyata saat ini dengan alur cerita dari game yang dirilis pada tahun 2012 tersebut.

Presiden AS, Donald Trump, baru-baru ini mengumumkan tarif baru yang dikenal sebagai “tarif timbal balik”. Tarif ini dikenakan sebesar 10 persen untuk sebagian besar negara, namun yang paling signifikan adalah tarif 84 persen yang diterapkan terhadap barang-barang dari China. Respon dari Presiden China, Xi Jinping, cepat dan tegas, di mana China memberlakukan pembatasan ekspor terhadap unsur tanah jarang serta mengenakan tarif balasan dengan angka yang sama.

Unsur tanah jarang merupakan komponen vital yang digunakan dalam industri pertahanan, teknologi, serta otomotif. China, sebagai negara yang memproduksi sekitar 90 persen dari keseluruhan pasokan tanah jarang di dunia, memiliki kontrol yang signifikan atas pasokan ini. Pembatasan yang diterapkan tersebut tentu berpotensi merugikan AS, terutama di tengah upaya untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor.

Momen ini menjadi semakin dramatis ketika Trump memutuskan untuk menghentikan penerapan tarif tersebut selama 90 hari untuk hampir semua negara, selain dari China. Namun, ia menaikkan tarif barang-barang asal Tiongkok hingga mencapai 125 persen, yang menunjukkan bahwa ketegangan antara kedua negara tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.

Dalam konteks ini, perilaku politik dan ekonomi yang saling sengketa antara AS dan China seolah menciptakan narasi yang merujuk kembali pada gameplay Black Ops II. Permainan tersebut menampilkan dua lini cerita yang saling berkaitan, di mana satu latar belakangnya adalah akhir Perang Dingin di antara tahun 1986 hingga 1989, dan lainnya melibatkan ketegangan antara AS dan China akibat tindakan Beijing yang menghentikan ekspor tanah jarang. Narasi dua lini waktu ini membuat game tersebut terasa seolah mencerminkan krisis yang kita hadapi saat ini.

Dalam permainan Call of Duty: Black Ops II, pemain berperan sebagai agen CIA dan mantan Marinir AS, Alex Mason, serta putranya, David Mason. Mereka berjuang melawan antagonis bernama Raul Menendez, yang berencana memicu perang baru antara AS dan China sebagai balasan atas dendam pribadi. Lini cerita yang terjadi pada tahun 2025 seolah menjadi ramalan suram yang terasa semakin relevan dengan situasi geopolitik saat ini.

Tampaknya, ketegangan yang mengemuka dalam hubungan AS dan China bukan hanya masalah ekonomi semata, tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek strategi dan keamanan global. Sebagian kalangan mengkhawatirkan dampak dari konflik ini, terutama dalam hal akses terhadap teknologi, sumber daya, dan inovasi.

Seiring dengan meningkatnya ketegangan, para pelaku industri dan pemerhati geopolitik terus memantau perkembangan situasi ini. Apakah ketegangan ini akan berlanjut ataukah ada peluang untuk meredakan konflik? Seperti dalam Black Ops II, di mana setiap keputusan mempengaruhi arah cerita, langkah-langkah yang diambil oleh kedua negara di dunia nyata juga akan menentukan nasib ekonomi dan geopolitik global.

Sebagai penutup, meskipun perbandingan dengan alur cerita dalam permainan video dapat terlihat berlebihan, penting untuk mengakui bahwa elemen-elemen strategis dan pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan dunia nyata jelas terlihat dalam dinamika perang dagang ini. Dalam arena global, setiap negara harus bijak dalam mengambil keputusan untuk menghindari konflik lebih lanjut yang dapat merugikan banyak pihak.

Berita Terkait

Back to top button