
Penduduk Palestina di Gaza menghadapi krisis air yang semakin parah dalam beberapa waktu terakhir. Penutupan pasokan air bersih, terutama yang dikelola oleh perusahaan negara Israel, Mekorot, akibat serangan militer baru-baru ini, telah membuat ribuan warga terpaksa berjalan jauh dan mengantre berjam-jam untuk mendapatkan air bersih. Keadaan ini semakin memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah yang terjebak dalam konflik berkepanjangan.
Menurut laporan dari otoritas setempat yang dikutip oleh Reuters pada Sabtu (12/4/2025), serangan militer Israel di lingkungan Shejaia, di timur Kota Gaza, telah merusak jaringan pipa yang sebelumnya menyediakan air bersih bagi penduduk. Sejak saat itu, banyak warga yang kehilangan akses terhadap sumber air utama mereka. “Sejak pagi, saya menunggu air,” ungkap Faten Nassar, seorang wanita berusia 42 tahun, yang mencerminkan kesulitan yang dihadapi oleh banyak orang di Gaza. “Tidak ada stasiun dan tidak ada truk yang datang. Tidak ada air. Penyeberangan ditutup.”
Militer Israel membenarkan kerusakan yang terjadi pada infrastruktur air dan menyatakan bahwa mereka telah berkoordinasi dengan organisasi terkait untuk perbaikan. Meskipun mengklaim bahwa pasokan air dari jaringan lain yang mengalir ke Gaza selatan masih berfungsi, kenyataannya, sebagian besar penduduk di utara Gaza kini terpaksa mengandalkan sumur-sumur yang ada, yang tidak selalu menjamin pasokan air bersih.
Lebih dari 2,3 juta penduduk Gaza kini harus menghadapi kenyataan bahwa air bersih semakin menjadi barang mewah. Banyak warga harus berjuang untuk mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka mengantre berjam-jam hanya untuk mendapatkan satu kali pengisian air, yang sering kali tidak mencukupi kebutuhan mereka. “Saya merasa lelah. Saya sudah tua, saya tidak muda lagi untuk berjalan-jalan setiap hari untuk mendapatkan air,” keluh Adel Al-Hourani, seorang pria berusia 64 tahun yang juga terpaksa menempuh jarak jauh untuk mendapatkan air bersih.
Sumber air utama di Jalur Gaza adalah Cekungan Akuifer Pesisir, yang membentang di sepanjang pantai Mediterania timur, namun sudah dalam kondisi kritis. Air dari sumber ini memiliki kadar garam yang tinggi, di mana diperkirakan hingga 97% dari airnya tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Kombinasi dari ekstraksi berlebihan, polusi, dan penggunaan air yang tidak berkelanjutan membuat situasi semakin memprihatinkan.
Dalam kondisi seperti ini, air untuk minum, memasak, dan mencuci menjadi semakin sulit didapatkan. Dengan pasokan air yang terbatas, penduduk Gaza terpaksa mencari alternatif yang tidak selalu menjamin kebersihan. Selain menunggu berjam-jam, banyak orang yang harus menyusuri jalanan dengan wadah plastik, berharap bisa mengisi air dari sumber yang masih berfungsi.
Krisis ini berimplikasi bukan hanya pada kesehatan dan kelangsungan hidup warga Gaza, tetapi juga pada kondisi sosial yang semakin memburuk akibat konflik yang berkepanjangan. Ketidakstabilan politis dan keamanan di kawasan ini memperburuk ketidakmampuan otoritas untuk memberikan layanan dasar yang memadai bagi rakyatnya.
Situasi di Gaza saat ini memerlukan perhatian lebih dari masyarakat internasional untuk mencipatakan solusi berkelanjutan dalam krisis air dan kebutuhan dasar lainnya. Tanpa adanya tindakan mendesak, dampak dari krisis air ini akan terus berlanjut, menambah penderitaan rakyat Gaza dalam menghadapi tantangan yang sudah sangat berat.