
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan dukungan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia untuk segera mengesahkan Revisi Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002. Penegasan tersebut disampaikan oleh Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso, dalam sebuah pernyataan resmi pada 12 April 2025. Dalam konteks perkembangan teknologi yang pesat, Tulus menilai regulasi yang ada saat ini sudah tidak lagi relevan dan perlu disesuaikan untuk menjawab tantangan zaman.
“UU Penyiaran yang berlaku saat ini memang harus diubah. Penting bagi kita untuk mengikuti perkembangan zaman yang telah mempengaruhi sektor penyiaran, termasuk dalam hal konten audio visual yang kini semakin melimpah dan sulit dikendalikan,” ujar Tulus. Dia menyampaikan keprihatinannya atas konten-konten yang tidak teratur dan dapat membawa dampak buruk bagi masyarakat.
Dalam pandangannya, UU Penyiaran seharusnya hadir untuk menjaga pemanfaatan sumber daya publik, khususnya frekuensi, agar tidak berdampak negatif. Tulus menjelaskan bahwa meskipun pengaturan untuk TV dan radio diatur secara ketat, banyak konten audio visual baru yang hadir melalui berbagai platform digital yang terkadang meresahkan masyarakat.
Selama ini, KPI menerima keluhan dari masyarakat mengenai tayangan yang beredar di media digital. “Banyak pertanyaan yang kami terima terkait konten-konten yang muncul di platform-platform tersebut,” tambahnya. Oleh karena itu, perlu adanya upaya bersama antara lembaga penyiaran dengan DPR untuk melakukan pembaruan yang lebih efektif.
Namun, revisi ini tidak lepas dari kekhawatiran mengenai potensi pembatasan terhadap kebebasan pers dan demokrasi. Tulus mengakui bahwa kekhawatiran tersebut adalah hal yang wajar muncul dalam proses legislasi. “Spirit dari revisi ini adalah untuk melindungi publik, termasuk industri pers. Kita perlu berdialog dengan pembuat undang-undang untuk menghindari perbedaan persepsi,” jelasnya.
Tulus menilai bahwa seharusnya terdapat pemahaman yang sama antara masyarakat dan pihak legislatif terkait apa yang seharusnya diatur dalam UU Penyiaran. “Jika kita dapat menghasilkan konten yang positif dan edukatif, maka pengaturan konten yang mengandung unsur negatif harus dianggap perlu. Tetapi, pengaturan tidak seharusnya menjadi alat untuk membungkam kebebasan berekspresi,” ungkapnya.
Di sisi lain, Tulus juga mengingatkan bahwa pengaturan konten di platform digital adalah suatu hal yang rumit dan bukan pekerjaan mudah. Meski demikian, diperlukan upaya dari negara untuk tidak terjebak dalam ketidakpastian di tengah perkembangan teknologi yang pesat. “Banyak negara sudah melakukan langkah serupa untuk mengatur konten audio visual, seperti Eropa dengan aturan Audio Visual Media Service Directive Act, 2018. Indonesia tidak boleh hanya diam dan tidak berbuat apa-apa,” tegasnya.
Sebelum pengesahan, DPR telah berkomunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk asosiasi lembaga penyiaran, untuk memasukkan masukan mereka dalam revisi ini. Mereka mengharapkan agar regulasi yang baru nantinya dapat menciptakan iklim persaingan yang lebih adil dan seimbang di sektor penyiaran.
Seiring berjalannya pembahasan revisi UU Penyiaran, diharapkan akan ada kesepakatan yang memperhatikan kebutuhan masyarakat sekaligus memberikan ruang yang layak bagi industri penyiaran untuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan teknologi. Dengan demikian, diharapkan regulasi yang baru tidak hanya melindungi kepentingan publik, tetapi juga mendukung kebebasan berekspresi yang berlandaskan pada norma dan etika yang berlaku di masyarakat.