Komnas HAM: Hukuman Berat untuk Guru Besar UGM dan Dokter Residen!

Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) mendesak agar tindakan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual, yang melibatkan seorang Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) dan seorang dokter residen di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Hasan Sadikin di Bandung, dikategorikan sebagai tindak pidana dengan hukuman yang lebih berat. Hal ini disampaikan oleh Anis Hidayah, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (10/4/2025).

Anis menegaskan, situasi kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin memprihatinkan. “Kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) cukup meluas dan sangat mengkhawatirkan. Untuk kasus di UGM, meskipun sudah ada sanksi dari pihak kampus, perlu ada penegakan hukum lebih lanjut,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh kedua pelaku tersebut seharusnya mendapatkan proses hukum yang serius, mengingat posisi mereka sebagai pendidik dan penyedia layanan kesehatan yang seharusnya melindungi masyarakat.

Kepatuhan terhadap UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sangat ditekankan oleh Anis, mengingat peran penting profesi guru besar dan dokter dalam memberikan perlindungan. “Dalam pangkat hukum, mereka adalah pihak yang seharusnya memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Pelanggaran yang mereka lakukan membutuhkan hukuman yang lebih berat,” tegasnya.

Anis juga menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk mengawal kasus-kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan profesi profesional seperti dosen dan dokter. “Sangat penting untuk memastikan bahwa aparat penegak hukum memberikan sanksi yang seberat-beratnya,” imbuhnya.

Dari keterangan sebelumnya, diketahui bahwa Polda Jawa Barat telah menangkap seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), berinisial PAP (31), atas dugaan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga pasien di RSHS. Kejadian yang dilaporkan tersebut berlangsung pada 18 Maret 2025, di mana pelaku meminta korban berinisial FH (21) untuk melakukan prosedur transfusi darah tanpa didampingi keluarga.

Korban mengalami tindakan yang sangat merugikan, termasuk suntikan berulang yang menyebabkan kehilangan kesadaran. Saat terbangun, FH merasa sakit di bagian intim, yang kemudian memicu pelaporan ke pihak kepolisian. Setelah dilakukan penyelidikan, PAP ditangkap pada 23 Maret 2025.

Di sisi lain, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menanggapi kasus pelecehan seksual yang melibatkan Guru Besar di UGM, melalui sanksi pemecatan. Kepala UGM, Admin Sandi, mengungkapkan bahwa pemecatan tersebut efektif per 20 Januari 2025, berdasarkan hasil pemeriksaan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS).

Manajemen UGM menyadari bahwa tindakan seperti ini tak hanya merugikan individu, tetapi juga mencoreng citra institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi pembelajaran. “Sanksi yang dikenakan ini adalah wujud kepatuhan UGM terhadap regulasi serta upaya menjaga integritas kampus,” terang Admin.

Kasus ini memicu diskusi lebih luas tentang perlunya pengawasan ketat terhadap profesional yang memiliki tanggung jawab tinggi sebagai pendidik dan penyedia layanan kesehatan. Melalui pengalaman pahit ini, diharapkan akan ada kebijakan dan tindakan lebih proaktif dari pihak berwenang untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

Peningkatan kesadaran masyarakat dan tindakan tegas dari penegak hukum dalam menangani kekerasan seksual di lingkungan pendidikan serta kesehatan menjadi sangat penting, guna menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bebas dari tindakan pelecehan yang tidak dapat diterima.

Berita Terkait

Back to top button