
Anggota DPR dari Komisi II Eka Widodo mendesak semua kepala daerah yang baru dilantik untuk periode 2025-2030 agar tidak melakukan rekrutmen pegawai non-aparatur sipil negara (Non-ASN). Peringatan ini disampaikan dalam konteks kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melakukan pemulihan dan penataan kepegawaian dalam lingkungan pemerintahan. Menurutnya, rekrutmen pegawai non-ASN yang selama ini sudah berlangsung terbukti dapat membebani anggaran negara dan terjadi secara sembunyi-sembunyi.
Eka menekankan, pemilihan pegawai non-ASN yang sering kali berlangsung secara informal tidak hanya merugikan sistem kepegawaian, tetapi juga menciptakan budaya buruk dalam pemerintahan. Ia mengatakan bahwa pelarangan ini merupakan langkah untuk meraih keadilan dalam rekrutmen. “Kebijakan ini akan menciptakan budaya baik dan berkeadilan, mengikis budaya nepotisme, mengobati kepercayaan masyarakat yang sudah terlanjur negatif, dan memandang pemerintah diskriminatif dalam rekrutmen pegawai,” ujarnya dalam konferensi pers minggu lalu.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) terbaru, Komisi II DPR meminta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) untuk berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Hal ini bertujuan untuk menetapkan larangan dan memberikan sanksi bagi kepala daerah yang diindikasi melakukan pengangkatan pegawai non-ASN. “Kami mengingatkan bila praktik siluman dalam rekrutmen kepegawaian masih terjadi, masyarakat bisa melapor ke pihak yang berwenang,” tegasnya.
Eka juga menambahkan bahwa tindakan merekrut pegawai non-ASN jelas melanggar hukum dan etika dalam penyelenggaraan pemerintahan. “Ada unsur malaadministrasi yang berdampak pada kebijakan pemerintahan,” ungkapnya. Ia menggarisbawahi bahwa rekrutmen yang tidak sesuai jalur yang benar dapat menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan, penyimpangan prosedur, serta perlakuan diskriminatif yang tidak adil.
Hal ini penting dipahami mengingat bekerja di pemerintahan menjadi impian banyak orang. Ketidakadilan dalam rekrutmen hanya akan menciptakan pejabat-pejabat yang tidak berkualitas dan berpotensi menyebabkan korupsi. “Bila rekrutmennya dilakukan dengan melanggar aturan, tidak adil, dan diskriminatif, maka akan melahirkan pejabat-pejabat yang sama buruk dan cenderung korup,” papar Eka.
Selain itu, diskusi mengenai larangan rekrutmen pegawai non-ASN ini mencuat seiring dengan adanya banyak keluhan masyarakat terkait proses rekrutmen yang dianggap tidak transparan. Kepala daerah diharapkan untuk lebih fokus pada pengembangan pegawai yang sudah ada dan menciptakan sistem yang lebih transparan serta berkeadilan. Dengan langkah ini, diharapkan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Kepala daerah yang melanggar larangan tersebut akan menghadapi konsekuensi yang serius, menurut Eka, dan bisa dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang ada. Ia mendorong kepada semua pihak, terutama kepala daerah, untuk mematuhi kebijakan yang sudah ditetapkan agar tercipta pemerintahan yang bersih dan profesional.
Rekrutmen pegawai negeri, terutama di tingkat daerah, akan terus menjadi sorotan. Kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki sistem kepegawaian di Indonesia dan mengurangi angka korupsi serta nepotisme yang selama ini menjadi momok di lingkungan pemerintahan. Dengan langkah ini, akan dihasilkan aparatur negara yang tidak hanya kompeten, tetapi juga berintegritas. Ini merupakan bagian dari upaya menciptakan pemerintahan yang lebih baik dan lebih terpercaya di mata masyarakat.