
Kiprah mendiang Bondan Winarno, seorang presenter kuliner legendaris, kembali menarik perhatian setelah isu mengenai food reviewer yang belakangan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Isu ini mencuat setelah terungkapnya dugaan pemerasan oleh salah satu food reviewer bernama Codeblu, serta kontroversi yang menyelimuti ulasan-ulasan makanan oleh Tasyi Athasyia. Dalam konteks ini, banyak warganet yang merindukan gaya ulasannya yang khas dan tidak pernah menilai makanan sebagai “tidak enak.”
Helmy Yahya, seorang presenter dan teman dekat Bondan, mengungkapkan bahwa sang presenter selalu memiliki cara unik dalam memberikan penilaian terhadap makanan yang diulas. Helmy menyatakan, “Pak Bondan itu tidak pernah me-review makanan itu tidak enak. Sekali dia bilang tidak enak, selesai itu.” Dalam pandangannya, Bondan cenderung mengkategorikan makanan dalam dua kelompok: yang enak dan yang sangat enak. Menurut Helmy, ini menunjukkan bahwa penilaian makanan seharusnya bersifat subjektif dan tergantung pada selera masing-masing individu.
Latar belakang ini dipertegas oleh Anne Avantie, yang menambahkan bahwa Bondan menggunakan istilah-istilah lucu untuk menggambarkan makanan, seperti “maknyus” untuk makanan yang sangat enak, serta “top markotop” untuk makanan yang juga enak, tetapi tidak sampai level “banget”. Poin penting yang diungkap oleh Helmy ialah bahwa Bondan, meskipun memiliki standar tinggi dalam penilaian makanan, selalu mencoba untuk tidak menjatuhkan reputasi atau bisnis kuliner yang sedang ia ulas. Hal ini menjadi cerminan sikap profesional dan bijak yang dimiliki oleh Bondan dalam dunia kuliner.
Sejak kematiannya, banyak yang mengenang Bondan sebagai sosok yang tidak hanya pintar dalam meramu kata-kata, tetapi juga memiliki adab dalam menjalin komunikasi. Sebuah akun di media sosial X @/Hujandisenja mengungkapkan bahwa Bondan adalah satu-satunya reviewer makanan yang bisa dipercaya karena ulasannya yang sangat detail dan bahasanya yang sopan.
Menariknya, Bondan memiliki sistem penilaian yang mendalam, dengan tingkatan yang jelas untuk menggambarkan kelezatan suatu masakan. Level tertinggi yang ia berikan adalah “maknyus”, sering diiringi dengan gestur khasnya yang membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk. Tingkatan di bawahnya mencakup “top markotop” dan “sip markosip”, yang menunjukkan adanya variasi dalam penilaian tanpa harus menjatuhkan kebaikan yang ada.
Sikap ini menjadi semakin penting di tengah kisah viral mengenai food reviewer yang terlibat dalam masalah etika. Karyawan dan pemilik bisnis kuliner merasa terancam dengan adanya tuduhan-tuduhan negatif yang dapat merusak reputasi mereka. Dalam konteks ini, metode Bondan menunjukkan bahwa ulasan dan kritik konstruktif bisa dilakukan tanpa harus mengeluarkan kata-kata negatif yang dapat membahayakan.
Dalam dunia kuliner yang semakin berkembang dan dipengaruhi oleh media sosial, Bondan Winarno mengajarkan kita tentang pentingnya adab dan etika dalam memberikan penilaian, terutama ketika menyangkut hasil karya orang lain. Metodologinya dalam berbagi informasi dan penilaian yang bersifat positif tidak hanya menjaga reputasi bisnis kuliner tetapi juga memberikan dampak positif bagi para penikmat kuliner lainnya.
Dengan berpedoman pada nilai-nilai tersebut, diharapkan generasi food reviewer yang baru dapat meneladani jejak langkah Bondan Winarno, yang telah memberikan kontribusi besar terhadap dunia kuliner di Indonesia. Ini adalah pengingat bahwa menghargai karya orang lain adalah kunci untuk menciptakan ekosistem kuliner yang lebih baik dan lebih harmonis.