Kisah Gunung Penanggungan: Petunjuk Jalan Pedagang Cina ke Panjalu

JAKARTA – Gunung Penanggungan, yang terletak di Jawa Timur, tidak hanya terkenal sebagai pemandangan indah, tetapi juga memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan perdagangan internasional pada abad ke-12. Gunung ini berfungsi sebagai tanda penunjuk bagi para pedagang Cina dan negara-negara lain di Asia yang berupaya mencapai Kerajaan Panjalu. Menurut sejarah, pada masa itu, Gunung Penanggungan dianggap suci dan menjadi panduan penting bagi para pelaut yang ingin berlayar ke daerah tersebut.

Di tengah gelombang larangan berlayar yang berlaku di Pulau Jawa pada abad ke-13, banyak pedagang Cina melakukan penyesuaian rute perjalanan mereka. Mereka mulai mengalihkan perhatian mereka ke Panjalu, yang menjadi tujuan utama mereka, dengan Gunung Penanggungan sebagai acuan navigasi. Dalam upaya untuk mengelabui pemerintah Kekaisaran Cina, para pedagang ini menyatakan bahwa mereka akan berlayar ke Sukitan, yang sebenarnya merujuk pada Pulau Jawa. Hal ini menjadi strategi cerdas yang memungkinkan mereka untuk menghindari kontrol ketat dan mencapai tujuan perdagangan mereka.

Kedatangan pedagang-pedagang Cina ke Panjalu tidak lepas dari daya tarik kekayaan alam yang dimiliki kerajaan tersebut. Keadaan sosial-politik yang stabil ditambah hasil bumi yang melimpah menarik minat para pedagang untuk berlabuh di pelabuhan Yau-toung. Sejarawan Prof. Slamet Muljana menjelaskan bahwa pelabuhan ini terletak di muara Kali Porong, yang dikenal sebagai salah satu titik transit strategis bagi jalur perdagangan di wilayah tersebut.

Menurut tafsir sejarah, gunung yang dijadikan penunjuk bagi para pedagang ini dikenal sebagai Pau-lau-an, yang memiliki lima puncak dan selalu diselimuti kabut. Identifikasi Yau-toung dengan Kali Porong menunjukkan keterhubungan antara nama-nama yang digunakan dalam berbagai konteks. Dapat dipastikan bahwa pelabuhan ini sudah beroperasi hingga pertengahan abad ke-15, serta terus disebut-sebut dalam catatan sejarah Cina.

Menggali lebih dalam mengenai lokasi Sukitan, sejarawan menuturkan bahwa kawasan ini bisa diartikan sebagai pantai Jawa, membentang dari Bangil hingga Surabaya, yang dapat dipahami sebagai bagian dari Selat Madura. Konsep supitan dalam bahasa Jawa, yang merujuk pada istilah selat, menguatkan pemahaman mengenai letak geografis dan jangkauan pelabuhan yang penting ini.

Keberadaan Gunung Penanggungan dan pelabuhan Yau-toung menjadi elemen krusial dalam pengembangan Kerajaan Panjalu, yang menjadi salah satu cikal bakal kerajaan besar Kediri. Para pedagang dari berbagai wilayah terus berdatangan, membawa serta kebudayaan dan barang dagangan, menciptakan interaksi yang kaya antara masyarakat lokal dan luar.

Selain itu, Gunung Penanggungan juga merupakan pusat spiritual yang dihormati, berbeda dengan gunung lain yang ada di Pulau Jawa. Keberadaannya yang dianggap suci memberi makna lebih dalam bagi masyarakat sekitar, menunjukkan hubungan yang harmonis antara kelestarian alam dan tradisi budaya. Pelaut yang mengandalkan gunung ini sebagai petunjuk jalan menambah lapisan signifikan dalam sejarah perniagaan yang melibatkan hubungan antara berbagai bangsa.

Dengan demikian, kisah Gunung Penanggungan mewakili jejak sejarah perdagangan dan kebudayaan yang berkelanjutan di wilayah Jawa Timur. Serangkaian peristiwa ini tidak hanya melibatkan aspek ekonomi, namun juga mengungkap bagaimana interaksi antarbudaya dapat membentuk identitas suatu daerah sepanjang sejarah. Diharapkan, upaya untuk memahami lebih lanjut mengenai warisan sejarah ini akan terus berlanjut, mengingat pentingnya untuk mempelajari asal-usul dan pertumbuhan komunitas yang ada di sekitar Gunung Penanggungan.

Exit mobile version