
Hubungan pertahanan antara Indonesia dan Tiongkok hingga saat ini masih menjadi tema yang perdebatan. Meskipun kedua negara telah menjalin kerja sama di berbagai bidang, aspek pertahanan tetap menjadi titik lemah dalam hubungan bilateral ini. Beberapa pakar berpendapat bahwa kerja sama ini dapat membuka peluang strategis bagi Indonesia, sementara lainnya menilai hal serupa sebagai ancaman yang perlu diwaspadai.
Kekhawatiran ini tidak lepas dari sikap konfrontatif Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang memicu ketegangan, terutama terkait tindakan kapal-kapal ikan ilegal dan sub-marine drone yang diperkenalkan oleh Tiongkok. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave A. F. Laksono, menegaskan bahwa kendala utama dalam kerja sama pertahanan ini adalah ketegangan yang meningkat di wilayah tersebut. Menurutnya, Indonesia menghentikan latihan militer “Sharp Knife” dengan Tiongkok pada tahun 2015 sebagai reaksi terhadap situasi yang meruncing.
Rincian lebih lanjut mengenai hambatan dalam kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Tiongkok mencakup ketergantungan Indonesia pada Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) yang sebagian besar berasal dari negara-negara Barat. Hal ini menciptakan hubungan kompleks antara ketergantungan teknologi dan ketidakpastian politik, mengingat Rusia dan Tiongkok cenderung anti terhadap aliansi NATO. Kurangnya kepercayaan yang terbentuk dari faktor sejarah juga memengaruhi persepsi di Indonesia terhadap Tiongkok.
Berbicara terkait risiko yang mungkin muncul dari kerja sama dengan Tiongkok, pakar memperingatkan tentang potensi meningkatnya ketegangan dengan negara-negara Barat yang menganggap Tiongkok sebagai ancaman strategis. Dave menekankan bahwa ada kekhawatiran Indonesia akan kontrol dan pengaruh Tiongkok terhadap kebijakan strategisnya. “Asimetri keuntungan” di mana Tiongkok mungkin memperoleh lebih banyak lebih banyak keuntungan ekonomi dan militer, dibandingkan Indonesia, menjadi perhatian lain. Ini ditakutkan dapat berdampak pada posisi strategis Indonesia di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
Curie Maharani, Direktur Eksekutif Indo-Pacific Strategic Intelligence juga mengungkapkan pandangannya bahwa kerja sama pertahanan antara kedua negara dapat berimbas pada memenuhi keinginan Indonesia untuk mendapatkan transfer teknologi, meskipun hingga saat ini belum ada perkembangan signifikan.
Tantangan yang dihadapi juga mencakup ketergantungan ekonomi dan teknologi dari Tiongkok, serta risiko ancaman terhadap kedaulatan Indonesia di wilayah yang diklaim oleh Tiongkok, terutama Laut Natuna Utara. Johanes Herlijanto, Ketua Forum Sinologi Indonesia, menyoroti potensi Tiongkok dalam menggunakan kerja sama pertahanan untuk memberi tekanan kepada Indonesia saat mengklaim wilayahnya.
Para pakar sepakat bahwa meskipun ada risiko yang mengintai, Indonesia dapat memanfaatkan kerja sama ini demi kepentingan nasionalnya. Misalnya, Indonesia dapat menggunakan forum kerja sama ini untuk menyampaikan keberatan terhadap manuver Tiongkok di Laut Natuna Utara.
Dalam rangka mengatasi tantangan ini, sejumlah langkah strategis dianjurkan. Pertama, memperkuat diplomasi multilateral dengan melibatkan berbagai negara, terutama dalam forum internasional seperti ASEAN. Keberlanjutan transparansi dalam kerja sama pertahanan dengan Tiongkok juga diutamakan untuk meredakan kegelisahan pihak ketiga yang mungkin khawatir akan dampak perkembangan ini.
Meningkatkan kemandirian ekonomi agar tidak terlalu bergantung pada satu negara dalam sektor pertahanan dianggap lebih mendesak. Menurut beberapa ahli, langkah-langkah ini dapat membantu Indonesia menjaga keseimbangan dalam hubungan bilateralnya dengan berbagai negara serta memperkuat posisi pertahanan nasional di tengah arus geopolitik yang semakin dinamis. Kerja sama di masa depan akan sangat ditentukan oleh bagaimana Indonesia mampu mengelola kerelasi ini dengan ketelitian dan semangat untuk menjaga kedaulatan dan keamanan nasional.