
Isu mengenai survei lokasi panas bumi di Pulau Flores terus memicu perdebatan di kalangan masyarakat, terutama di Kabupaten Nagekeo. Meskipun daerah tersebut telah diidentifikasi sebagai lokasi prospektif untuk pengembangan energi geotermal, sejumlah kepala desa di Nagekeo secara tegas menolak rencana tersebut. Penolakan ini muncul setelah hasil survei yang dilakukan oleh tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beredar di media sosial, menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat lokal.
Dari dokumen yang beredar, diketahui bahwa survei dilakukan oleh tiga pakar dari Badan Geologi Kementerian ESDM. Mereka mengidentifikasi tiga lokasi di Nagekeo yang menunjukkan manifestasi panas bumi: Marapokot, Rendoteno, dan Pajoreja. Suhu mata air panas yang ditemukan bervariasi antara 36°C hingga 75°C, menunjukkan potensi sumber daya geothermal yang cukup signifikan. Namun, meskipun potensi tersebut terdeteksi, sejumlah kepala desa di daerah tersebut menolak pengembangan proyek ini.
Kepala Desa Ululoga, Petrus Leko, mengungkapkan penolakannya terhadap survei tersebut. Ia menyatakan bahwa saat survei berlangsung, tidak ada penjelasan yang memadai dari pihak survei mengenai tujuan dan implikasi dari pengukuran yang dilakukan. “Kami melihat ada petugas datang ke lokasi, mengukur suhu air panas dan melakukan berbagai investigasi lainnya tanpa memberi penjelasan yang jelas. Kini, kami kaget mendengar isu penolakan yang muncul dari Uskup Agung Ende,” ujarnya.
Petrus Leko bersama dengan Kepala Desa Lodaolo, Frans Bule, menekankan bahwa penolakan ini tidak hanya berdampak pada komunitas mereka, tetapi juga berhubungan erat dengan keprihatinan terhadap ekosistem dan keberlangsungan hidup masyarakat. Menurut mereka, eksploitasi panas bumi dapat merusak lingkungan dan mengancam mata pencaharian warga yang sebagian besar bergantung pada pertanian.
Frans Bule menambahkan, “Kami kuatir jika eksplorasi dilakukan di Pajoreja, maka akan berdampak negatif pada warga dan kebun kami. Kami berencana untuk memasang tanda penolakan di lokasi yang pernah disurvei.” Penjelasan serupa disampaikan oleh Petrus Leko yang mencatat bahwa penolakan ini merupakan langkah preventif untuk menjaga hak dan kehidupan masyarakat.
Isu yang lebih luas terkait dengan proyek geotermal di Pulau Flores tidak hanya merupakan masalah tingkat lokal. Enam Uskup Regio Nusa Tenggara juga secara tegas menolak pengembangan geotermal di Flores dan Lembata. Mereka menyatakan bahwa proyek ini dapat merusak ekosistem dan memberikan dampak lingkungan negatif yang serius. Dalam surat gembala yang dibacakan di gereja-gereja, para uskup mengajak umat untuk menjaga lingkungan dengan menolak eksploitasi yang merusak.
“Pembangunan proyek geotermal seharusnya bukan hanya untuk menyediakan energi bagi masyarakat, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan,” bunyi surat tersebut. Fokus mereka adalah pada keberlangsungan hidup masyarakat yang sangat bergantung pada sumber daya alam yang ada.
Para kepala desa dan tokoh masyarakat di Nagekeo sepakat untuk berkoordinasi dan mengumpulkan informasi lebih lanjut terkait survei dan rencana pengembangan ini. Mereka meyakini, penting untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat dan menjaga lingkungan yang telah menjadi tumpuan hidup mereka selama ini. Dalam beberapa pertemuan dengan tokoh gereja dan masyarakat, mereka mendiskusikan langkah-langkah untuk memperkuat penolakan atas rencana tersebut.
Masyarakat Nagekeo kini berada di tengah dilema antara potensi energi baru dan pelestarian lingkungan yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari mereka. Dengan penolakan tegas yang dikemukakan oleh kepala desa dan otoritas gereja setempat, terlihat bahwa ada kekhawatiran yang mendalam akan dampak jangka panjang dari proyek-proyek geotermal di daerah mereka.