Kenapa STR Dokter Kandungan di Garut Belum Dicabut? Simak Alasannya!

Isu mengenai dugaan pelecehan seksual yang melibatkan dokter kandungan di Garut, MSF, masih menjadi sorotan publik. Kasus ini muncul ke permukaan setelah dilaporkan adanya tindakan tidak etis saat pemeriksaan ultrasonografi (USG) yang dialami salah satu pasien. Akibat kasus tersebut, MSF mengalami penangguhan sementara terhadap surat tanda registrasi (STR) yang diperlukan untuk praktik kedokterannya. Namun, pertanyaan yang mendasari isu ini adalah mengapa STR dokter di Garut ini belum dicabut sepenuhnya, sementara STR dokter lain yang terlibat dalam kasus serupa sudah dicabut.

Berdasarkan informasi dari Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), drg Arianti Anaya, perbedaan tindakan terhadap kedua kasus disebabkan oleh status masing-masing pelaku. Kasus yang melibatkan dokter kandungan di Garut masih berada dalam tahap penyelidikan oleh Majelis Dewan Profesi (MDP), sehingga status hukum dari dokter tersebut belum jelas. Dalam konferensi persnya, Arianti menekankan bahwa selama statusnya belum ditentukan, tidak ada langkah lebih lanjut yang dapat diambil oleh KKI, termasuk pencabutan STR.

Untuk membandingkan, Priguna Anugerah Pratama (PAP), seorang PPDS Anestesi di RS Hasan Sadikin, Bandung, telah ditetapkan sebagai pelaku kasus pemerkosaan yang jelas dan sudah ditangani oleh pihak berwajib. STR PAP dicabut secara langsung karena kasus tersebut telah memasuki ranah pidana, sehingga tindakan tegas dianggap perlu untuk melindungi pasien dan menjaga integritas profesi medis.

Dalam penjelasan lebih lanjut, Arianti menegaskan, “Kalau PAP itu langsung dicabut STR-nya, karena sudah ditangani oleh pihak berwajib langsung dan masuk ke kasus pidana.” Ucapan ini mencerminkan pendekatan KKI yang berbeda terhadap setiap kasus berdasarkan bukti dan status hukum yang ada.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan, Aji Muhawarman, juga menjelaskan bahwa pencabutan STR bukanlah tindakan sewenang-wenang. Ketika STR seorang dokter dicabut, itu berarti dokter tersebut tidak diperbolehkan untuk menjalankan praktik kesehatan. Ini adalah langkah serius yang diambil untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh mereka yang terlibat dalam tindakan tidak etis.

Dalam hal ini, keadaan dokter MSF masih terkatung-katung, karena MDP yang bertugas untuk menilai dan menentukan bagaimana kasus tersebut akan dilanjutkan. “Kalau dokter Garut yang MSF, baru MDP yang turun. Ada indikasi kasus pidana, kalau nanti statusnya sudah jelas kita bakal cabut STR-nya,” ungkap Arianti.

Perbedaan respons terhadap kedua kasus ini memunculkan beragam pertanyaan di kalangan masyarakat, terutama mengenai standar dan prosedur yang diterapkan oleh KKI dalam menangani kasus pelanggaran etika medis. Sejumlah pengamat kesehatan meminta transparansi dan kecepatan dalam penanganan kasus seperti ini guna memastikan kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan. Mereka menekankan bahwa dengan menciptakan kejelasan peraturan dan penegakan yang tegas, diharapkan insiden serupa dapat dihindari di masa mendatang.

Sementara situasi di Garut masih menunggu keputusan lebih lanjut dari otoritas yang berwenang, kasus ini menunjukkan kompleksitas dalam menangani pelanggaran etika medis. Komunitas medis dan publik harus bersikap proaktif dalam memantau perkembangan kasus ini dan mendukung langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga integritas dan profesi medis yang layak.

Exit mobile version