Kenapa Korban Pelecehan Seksual Takut Melapor? Temukan Sebabnya!

Kasus pelecehan seksual di Indonesia terus meningkat setiap tahun, menciptakan perhatian dan kekhawatiran yang mendalam di masyarakat. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), jumlah kasus kekerasan seksual pada tahun 2024 mencapai angka 17.305 kasus, angka yang tergolong tinggi. Namun, angka ini kemungkinan besar tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, karena banyak korban memilih untuk tidak melapor. Ada berbagai faktor yang menyebabkan ketakutan untuk melaporkan pelecehan yang mereka alami.

Salah satu alasan utama yang mendorong korban untuk tidak melapor adalah ketakutan bahwa cerita mereka tidak akan dipercaya. Dalam sistem hukum, prinsip “tidak bersalah sampai terbukti bersalah” memang berlaku. Namun, dalam konteks pelecehan seksual, sering kali tidak ada saksi atau bukti fisik yang cukup kuat untuk mendukung klaim korban. Kriminolog dari University of New South Wales, Bianca Felborn, mengungkapkan bahwa ketiadaan bukti ini membuat korban merasa rentan terhadap stigma dan dianggap sebagai pembohong.

Selain itu, banyak korban yang menganggap kejadian tersebut sebagai aib. Dalam banyak budaya, kekerasan seksual dianggap sebagai hal yang memalukan, bukan hanya bagi korban, tetapi juga bagi keluarga mereka. Stigma sosial yang semakin memperburuk situasi ini menganggap korban sebagai pihak yang “kotor” atau memalukan, membuat mereka lebih memilih untuk bungkam. Tekanan dari masyarakat untuk menjaga kehormatan keluarga sering kali lebih kuat daripada dorongan untuk mencari keadilan.

Banyak korban juga mengalami minimnya kesadaran tentang kejahatan yang mereka alami. Dalam beberapa kasus, mereka tidak menyadari bahwa pelecehan tersebut adalah tindak kriminal yang serius. Bagi beberapa orang, budaya yang menormalisasikan perilaku seksual yang tidak pantas membuat mereka menganggap kejadian tersebut sepele. Ini lebih lanjut menambah kerumitan bagi mereka dalam memproses pengalaman mereka dan berupaya untuk melapor.

Ancaman dari pelaku juga menjadi faktor signifikan yang menghalangi korban untuk melapor. Sering kali, pelaku adalah orang terdekat atau memiliki kekuasaan atas korban, seperti atasan, guru, atau tokoh masyarakat. Intimidasi yang dialami dapat berupa ancaman kekerasan, tekanan mental, atau bahkan ancaman reputasi, yang menciptakan rasa aman yang semu dalam kebisuan bagi korban.

Rasa pesimis mengenai keadilan juga sangat memengaruhi keputusan korban untuk melapor. Banyak dari mereka merasa bahwa sistem hukum tidak akan memihak mereka, mengingat banyaknya kasus yang berakhir sia-sia atau lamban dalam proses hukum. Dalam banyak kasus, korban khawatir bahwa upaya mereka untuk melapor akan sia-sia dan justru memperburuk kondisi psikologis mereka yang telah terguncang.

Data tersebut menunjukkan bahwa ketakutan untuk melapor bukanlah tanpa alasan. Lingkungan yang tidak mendukung dan sistem hukum yang belum sepenuhnya responsif menjadi tantangan yang besar bagi korban. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menciptakan ruang yang aman dan berempati, di mana para korban merasa dihargai dan diberdayakan untuk bersuara dan mencari keadilan. Kesadaran kolektif dalam menangani masalah ini dapat membantu mendorong perubahan positif dan mendukung pemulihan bagi mereka yang telah mengalami trauma akibat pelecehan seksual.

Berita Terkait

Back to top button