Setiap tahun, masyarakat dunia memperingati Hari Hemofilia Sedunia pada tanggal 17 April. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya. Tahun ini, tema yang diangkat adalah “Access for All: Women and Girls Bleed Too,” yang menekankan pentingnya akses yang setara untuk diagnosis dan pengobatan, terutama bagi perempuan dan anak perempuan yang seringkali terabaikan dalam konteks ini.
Di Indonesia, peringatan ini melibatkan kolaborasi antara Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) dan PT Takeda Indonesia, bertujuan untuk mengedukasi masyarakat mengenai hemofilia serta pentingnya deteksi dini dan penanganan yang tepat. Hemofilia selama ini dipahami sebagai penyakit yang lebih sering menyerang laki-laki karena diturunkan melalui kromosom X. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa perempuan pun dapat mengalami gejala hemofilia atau gangguan perdarahan lainnya, meski sering kali tidak terdiagnosis atau tidak menyadari kondisi yang mereka alami.
Hemofilia merupakan kelainan pada proses pembekuan darah, yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam menghentikan perdarahan setelah cedera. Terdapat dua tipe utama hemofilia: Hemofilia A, yang disebabkan oleh defisiensi faktor VIII, dan Hemofilia B, yang berkaitan dengan defisiensi faktor IX. Tingkat keparahan hemofilia dapat bervariasi, tergantung pada kadar faktor pembekuan darah dalam tubuh penderita.
Menurut data dari World Federation of Hemophilia, diperkirakan 1 dari 10.000 orang di dunia mengalami hemofilia. Namun di Indonesia, angka tersebut jauh lebih rendah dengan sekitar 28.000 penderita yang diperkirakan, hanya 11% di antaranya yang teridentifikasi, yaitu sekitar 3.658 orang. Hal ini menunjukkan bahwa banyak individu di Indonesia yang menderita hemofilia tanpa mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan.
Ketua HMHI, dr. Novie Amelia Chozie, SpA(K), menyatakan bahwa banyak pasien baru terdeteksi setelah mengalami perdarahan yang serius, yang berisiko menyebabkan komplikasi berbahaya seperti disabilitas atau kematian. Salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan hemofilia di Indonesia adalah terbatasnya fasilitas diagnosis dan akses terhadap terapi di berbagai wilayah. Penelitian dari Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi IDAI pada 2022 menunjukkan prevalensi inhibitor terhadap terapi faktor VIII mencapai 9,6% pada anak dengan hemofilia A, yang mengindikasikan bahwa sebagian pasien kesulitan dalam mendapatkan pengobatan yang efektif.
Dalam menghadapi kenyataan ini, penting untuk memberikan edukasi kesehatan dan dukungan yang memadai kepada pasien hemofilia dan keluarga mereka. HK, seorang pasien hemofilia berpengalaman 34 tahun, menekankan pentingnya pemerataan akses pengobatan, berharap obat konsentrat faktor pembekuan bisa ditanggung oleh BPJS untuk menyelamatkan banyak nyawa. Sementara itu, SRS, seorang remaja 17 tahun dengan Von Willebrand Disease (VWD), menceritakan kesulitan yang ia hadapi dalam diagnosis. Gejala awal seperti lebam dan perdarahan di gusi sering dianggap sepele, sehingga baru mendapatkan penanganan yang tepat setelah melalui berbagai prosedur medis yang panjang.
Sebagai bagian dari langkah memperluas informasi dan layanan, HMHI meluncurkan situs resmi yang lebih interaktif dan informatif, di mana pasien dapat mengakses berbagai sumber edukasi kesehatan serta berbagi pengalaman dengan sesama penyandang. Shinta Caroline, Head of Oncology & Rare Disease Business Unit PT Takeda Indonesia, menekankan komitmen perusahaan dalam mendukung pasien dan keluarganya, dengan harapan meningkatkan kesadaran akan hemofilia.
Hari Hemofilia Sedunia menjadi momen penting untuk mendorong tindakan nyata demi memastikan akses yang setara bagi semua penyandang gangguan perdarahan di Indonesia. Sinergi antara pemerintah, tenaga kesehatan, industri farmasi, dan masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Diharapkan, dengan meningkatnya kesadaran dan edukasi, masa depan yang lebih baik bagi penyandang hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya dapat terwujud, tanpa ada lagi individu yang kehilangan masa depan mereka karena tidak mendapatkan penanganan yang tepat.