Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) baru-baru ini mengalihkan status penahanan mantan Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar, menjadi tahanan kota. Keputusan ini diumumkan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, pada Sabtu, 26 April 2025. Tian yang sebelumnya ditahan di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejagung sejak 21 April 2025 kini bisa menjalani penahanan di rumahnya.
Pengalihan status ini terjadi setelah penilaian kondisi kesehatan Tian. Harli Siregar menjelaskan bahwa alasan di balik keputusan tersebut adalah karena Tian sedang dalam kondisi sakit. “Iya (sakit),” ungkap Harli saat memberikan penjelasan kepada wartawan. Ini menunjukkan bahwa sistem penegakan hukum di Indonesia, meski tegas, juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan dalam pelaksanaannya.
Tian Bahtiar adalah salah satu tersangka dalam kasus pemufakatan jahat yang terkait dengan dugaan suap terhadap majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini berhubungan dengan pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). Selain Tian, dua orang lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Marcella Santoso selaku kuasa hukum, dan Junaedi Saibih, seorang dosen yang juga bertindak sebagai kuasa hukum.
Dalam keterangan lanjutan, Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menyatakan bahwa ketiga tersangka telah menjalani pemeriksaan maraton sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga secara bersama-sama berusaha untuk merintangi penyidikan terhadap sejumlah perkara penting, termasuk dugaan korupsi di PT Timah dan impor gula. “Adanya permufakatan jahat yang dilakukan oleh MS, JS, dan TB untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan kasus tertentu membuat mereka dijerat dengan hukum,” jelas Qohar.
Pemufakatan tersebut bermula saat Marcella dan Junaedi memberikan uang senilai Rp478 juta kepada Tian untuk memproduksi berita negatif mengenai penyidikan yang tengah dilakukan oleh Kejagung. “Mereka mengorder TB untuk membuat berita-berita yang menyudutkan Kejaksaan,” kata Qohar. Berita-berita yang diproduksi kemudian disebarkan melalui berbagai platform, termasuk media sosial dan JakTV, dengan tujuan membentuk opini publik yang negatif mengenai penanganan hukum oleh Kejaksaan.
Tak hanya memproduksi berita, ketiganya juga terlibat dalam berbagai kegiatan kampanye publik. Mereka menyelenggarakan demonstrasi, seminar, dan talkshow yang diarahkan untuk menggiring opini bahwa Kejaksaan telah merugikan hak-hak klien Marcella dan Junaedi. “Kegiatan tersebut bertujuan untuk membentuk opini negatif yang seolah-olah mengganggu konsentrasi penyidik,” ungkap Qohar.
Dari pengintaian yang dilakukan, pihak Kejagung menemukan sejumlah bukti elektronik, termasuk chat antar tersangka, yang menunjukkan bahwa tindakan mereka merupakan upaya untuk mengganggu proses hukum. Meski demikian, ketiga tersangka menyangkal tuduhan tersebut.
Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, mereka dijerat dengan Pasal 21 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan UU 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat 1 KUHAP. Pihak Kejagung menegaskan bahwa penegakan hukum harus berjalan tanpa ada kendala, meskipun terdapat upaya-upaya untuk mengganggu serta membentuk opini negatif.
Melalui langkah-langkah yang diambil, Kejagung berharap bisa mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses hukum di Indonesia dan menunjukkan bahwa setiap tindakan korupsi akan ditindak tegas, tanpa memandang posisi atau jabatan pelaku. Kejagung berkomitmen untuk menjaga integritas dan profesionalisme demi penegakan hukum yang adil dan transparan.