Tim penyidik Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) di Kejaksaan Agung (Kejagung) terus melakukan pengusutan terhadap skandal terkait Vonis Lepas (onslag) kasus ekspor minyak mentah atau CPO dengan melibatkan beberapa pihak yang terlibat. Salah satu yang menarik perhatian adalah pemeriksaan terhadap istri hakim Agam Syarif Baharuddin, seorang hakim yang mengadili kasus tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyatakan bahwa baru-baru ini tim penyidik telah memeriksa sepuluh saksi, termasuk DH, perempuan yang merupakan istri Agam Syarif Baharuddin. DH sebelumnya telah diperiksa dua kali terkait kasus ini, dengan pemeriksaan pertamanya berlangsung pada 17 April 2025. Saksi lainnya yang turut diperiksa adalah AGS, sopir dari tersangka Marcella Santoso, dan ASH yang merupakan sopir dari tersangka Ariyanto.
Marcella dan Ariyanto dikenal sebagai kuasa hukum dari terdakwa korporasi dalam kasus ini, yang diduga melakukan pemufakatan jahat bersama Wahyu Gunawan, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat itu. Harli menjelaskan mengenai proses pemeriksaan, “Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” ungkapnya.
Kasus ini menyusut hingga ke tingkat yang lebih tinggi, dengan penetapan Muhammad Syafei dari PT Wilmar Group sebagai tersangka baru. Terungkap bahwa keterlibatan Syafei dimulai saat Wahyu Gunawan menawarkan jasa pengurusan perkara kepada pihak kuasa hukum terdakwa dengan imbalan yang sangat besar. Menurut Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jampidsus, Wahyu meminta agar ada biaya yang disiapkan untuk kepengurusan perkara tersebut, yang dimulai dengan penawaran Rp20 miliar. Namun, setelah pertemuan lebih lanjut, jumlah itu berkembang menjadi Rp60 miliar.
Dalam pertemuan selanjutnya, Wahyu juga memberi tahu bahwa vonis bebas tidak mungkin, tetapi vonis lepas masih bisa dilakukan dengan suap. Hal ini menjadi bagian dari pemufakatan antara pejabat pengadilan dan pengacara. Satu per satu, informasi terkait aliran dana pun diungkapkan, termasuk detail penyerahan uang tersebut, yang diambil alih oleh pelbagai pihak yang terkait sebagai bentuk korupsi.
Dalam perkembangan lebih jauh, Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka terdiri dari Djumyanto selaku Ketua Majelis Hakim dan dua hakim lainnya, Agam Syarif Baharuddin serta Ali Muhtarom. Qohar menjelaskan bahwa ketiga hakim ini terlibat dalam keputusan yang merugikan proses peradilan terkait kasus CPO, dengan total suap yang diterima bervariasi antara Rp4,5 miliar hingga Rp6 miliar.
Penyidik juga berhasil menjaring bukti berupa sejumlah kendaraan mewah yang diduga terkait dengan praktik korupsi ini, termasuk mobil mewah dari berbagai merek terkenal yang disita. Penegakan hukum dalam kasus ini menunjukkan betapa dalamnya jaring korupsi yang mencakup berbagai lapisan dalam sistem peradilan.
Kasus ini memunculkan berbagai pertanyaan mengenai integritas sistem peradilan dan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Penegakan hukum yang tegas dan transparan diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk membenahi citra peradilan dan memberikan keadilan bagi masyarakat. Publik kini menunggu perkembangan selanjutnya dari penyelidikan ini, terutama dalam menggali lebih dalam keterlibatan semua pihak yang terkait.