
Dalam sebuah pertemuan di Jakarta, para pakar Islam mendiskusikan karakteristik unik Islam di Indonesia dibandingkan dengan Timur Tengah. Pertemuan ini melibatkan lima akademisi dari Vietnam yang tengah mempelajari program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB), yang diselenggarakan oleh Institut Leimena dan berbagai lembaga di Indonesia.
Diskusi dipimpin oleh tokoh-tokoh terkenal, di antaranya Prof. Dr. Amin Abdullah, mantan Menteri Luar Negeri Dr. Alwi Shihab, dan Duta Besar RI untuk Uzbekistan dan Kyrgyzstan, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin. Prof. Amin Abdullah menekankan bahwa meskipun 87 persen dari 270 juta penduduk Indonesia beragama Islam, negara ini tidak menjadikan Islam sebagai agama negara, melainkan mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam kebudayaan yang sudah ada.
Amin menjelaskan bahwa karakter Islam di Indonesia tumbuh dari tiga pilar: etnoreligius, Sumpah Pemuda 1928, dan Pancasila. Indonesia yang kaya akan keberagaman—dengan 17.000 pulau, beragam bahasa, dan adat istiadat—telah menciptakan masyarakat yang terbiasa hidup dalam kemajemukan. Sumpah Pemuda menjadi momentum integrasi, memperkuat rasa kebangsaan di tengah perbedaan.
Dalam konteks ini, hukum dan nilai-nilai keagamaan bisa beradaptasi dengan dinamika sosial. Organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, memiliki sejarah panjang dan memainkan peran penting dalam merumuskan identitas Islam Indonesia yang inklusif. Transformasi nilai-nilai ini tidak selalu mulus, namun ada sinergi yang positif saat ada usulan untuk menghapus istilah terkait syariat dalam Pancasila.
Dr. Alwi Shihab menyoroti bahwa meski Islam bersifat universal, penafsiran yang berbeda seringkali memicu konflik. Dia mengambil contoh konflik di Irak dan Iran untuk menunjukkan bahwa masalah ini lebih kompleks, sering berkaitan dengan politik. Di tengah perbedaan ini, program LKLB berorientasi pada tiga kompetensi: pemahaman ajaran agama, mencari titik temu dalam perbedaan, dan kolaborasi.
Siti Ruhaini menambahkan bahwa Indonesia memerlukan upaya lebih besar untuk mendorong kerukunan antaragama dibandingkan dengan negara-negara yang lebih homogen seperti Vietnam. Sistem demokrasi menjadi penting untuk mengelola perbedaan dan menghindari konflik.
Program-program seperti LKLB berupaya menciptakan pemahaman multikultural, di mana peserta dibekali dengan kemampuan berinteraksi positif dengan kelompok lain. Peserta menyampaikan umpan balik positif, merasa lebih nyaman dengan interaksi antaragama setelah mendapatkan wawasan dan pelatihan di program ini.
Dengan keberagaman yang ada, Indonesia menunjukkan bahwa kedamaian dan harmoni sangat mungkin dilakukan. Prinsip-prinsip yang terintegrasi dalam Pancasila bukan hanya sekadar slogan, tetapi menjadi fondasi bagi masyarakat untuk hidup berdampingan dengan saling menghormati. Melalui dialog dan pengembangan kapasitas, Indonesia dapat menjadi contoh bagaimana keberagaman dapat menjadi kekuatan, bukan ancaman.
Upaya memperkuat dialog antaragama dan pemahaman lintas budaya di era globalisasi ini menjadi semakin relevan. Dengan potensi yang ada, Indonesia diharapkan dapat menjadi pionir dalam mempromosikan Islam yang moderat dan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan serta toleransi di tingkat internasional.