
Penerapan kebijakan tarif oleh Presiden Donald Trump terhadap sejumlah negara berpotensi memicu pergeseran signifikan dalam lanskap keamanan siber. Tenable, perusahaan keamanan siber yang berbasis di Kolombia, mengingatkan bahwa peningkatan tarif ini dapat meningkatkan risiko serangan siber sebagai bentuk balasan dari negara-negara yang terdampak. Co-CEO dan CFO Tenable, Steve Vintz, menyampaikan pandangannya bahwa kebijakan tersebut meski bertujuan untuk melindungi perekonomian AS, juga dapat memicu aksi balasan dari pihak-pihak yang merasa tertekan secara ekonomi.
“Ketika terjadi gangguan di pasar keuangan atau ketidakpastian ekonomi, pelaku kejahatan siber cenderung berkembang biak,” ujar Vintz dalam keterangan persnya. Ia mengamati adanya korelasi yang kuat antara sanksi ekonomi dan peningkatan ancaman siber, khususnya yang menargetkan infrastruktur penting.
Amerika Serikat sendiri merupakan salah satu negara yang paling banyak mengalami serangan siber. Pada tahun 2023, Pusat Pengaduan Kejahatan Internet FBI mencatat lebih dari 880.418 pengaduan terkait serangan siber, dengan potensi kerugian mencapai lebih dari US$12,5 miliar. Serangan ini tidak hanya menganggu layanan vital, tetapi juga membahayakan data sensitif yang berpotensi mengancam stabilitas sektor-sektor krusial seperti kesehatan dan energi.
Operator di sektor-sektor penting sering bergantung pada pemasok perangkat keras luar negeri. Dengan adanya kebijakan tarif tersebut, mereka mungkin harus beralih ke alternatif lokal. Vintz memperingatkan bahwa hal ini akan meningkatkan biaya operasional secara signifikan, dan dapat menciptakan kerentanan baru. “Proses pengadaan yang tidak biasa dapat mengganggu rantai pasokan dan membuat organisasi menjadi lebih rentan terhadap serangan,” tambahnya.
Dalam beberapa bulan terakhir, telah terlihat adanya kebangkitan aktivitas siber yang berbahaya, terutama di negara-negara yang menganggap aksi tarif sebagai provokasi. Serangan siber yang lebih terorganisir kerap kali menargetkan infrastruktur penting seperti jaringan listrik, perawatan kesehatan, dan sistem transportasi.
Kebijakan tarif juga tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi dan keamanan siber. Menurut Menteri Lingkungan Hidup Brasil, Marina Silva, tarif dagang yang diterapkan AS dapat menghalangi upaya negara-negara dalam mendapatkan pendanaan untuk tindakan perubahan iklim. “Perang tarif tidak menguntungkan siapa pun,” katanya, mempertanyakan dampak global dari kebijakan tersebut.
Silva menegaskan bahwa sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pendanaan iklim kini teralihkan akibat perang dagang. Brasil, yang akan menjadi tuan rumah Konferensi Iklim PBB (COP30) di Belem tahun ini, menargetkan mobilisasi dana sebesar US$1,3 triliun per tahun untuk mengatasi perubahan iklim, tetapi tarif tersebut bisa membuat rencana itu sulit direalisasikan.
Dalam konteks hubungan internasional, dampak dari kebijakan tarif ini tampak luas. Sebagian besar negara mulai mengalihkan fokus dan sumber daya mereka, menciptakan ketegangan baru di arena diplomasi yang berpotensi memperburuk hubungan antar negara.
Dalam situasi di mana berbagai negara merespons dengan pembuatan kebijakan balasan, risiko konflik yang lebih besar, termasuk dalam ranah siber, menjadi semakin nyata. Sebagai langkah proaktif, para pemimpin dunia perlu mempertimbangkan potensi dampak kebijakan mereka terhadap keamanan siber dan stabilitas global.
Mengingat kompleksitas situasi ini, sangat jelas bahwa kebijakan ekonomi dan perdagangan memiliki konsekuensi yang jauh melampaui angka di neraca perdagangan. Ketika negara-negara bersikap defensif, ancaman serangan siber akan terus meningkat, dan infrastruktur global akan menjadi lebih rentan terhadap serangan yang tidak hanya merugikan ekonomi, tetapi juga mengganggu keamanan nasional.