
Jakarta, Octopus – Isu politik dan hukum terkini kembali mencuri perhatian publik di Indonesia. Di tengah pro dan kontra masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Kontroversi ini muncul karena adanya penolakan dari berbagai kalangan terhadap perubahan yang diusulkan, sementara pihak DPR berusaha meyakinkan publik bahwa revisi ini tidak akan mengubah posisi TNI dalam tatanan sipil.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa hanya tiga pasal dari UU TNI yang akan dibahas dalam revisi tersebut. Menurutnya, pasal-pasal ini tidak akan mempengaruhi prinsip dwifungsi TNI, dan DPR berkomitmen untuk menghormati supremasi sipil. “Dalam revisi UU TNI hanya ada tiga pasal, yakni Pasal 3, Pasal 53, dan Pasal 47,” ujar Dasco dalam konferensi pers di gedung DPR, Jakarta, Senin (17/3/2025). Ia menambahkan bahwa rancangan yang beredar di media sosial berkaitan dengan pasal-pasal lain tidak relevan dengan pembahasan resmi yang sedang dilakukan.
Di sisi lain, penolakan terhadap revisi UU TNI juga datang dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Puan Maharani, putri Megawati, menjelaskan bahwa pernyataan penolakan itu muncul sebelum DPR melakukan pembahasan lebih lanjut. Meskipun ada perbedaan pandangan di internal partai, Puan menegaskan bahwa Fraksi PDIP kini mendukung revisi dan bahkan memimpin panja pembahasan.
Selain polemik UU TNI, isu lain yang tak kalah menarik perhatian adalah pemecatan AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, mantan Kapolres Ngada. Keputusan untuk memberhentikan Fajar diambil dalam sidang etik Polri setelah ia terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap anak dan penggunaan narkoba. Tindakan tersebut menunjukkan sikap tegas Polri dalam menangani oknum anggota yang terlibat dalam tindak kejahatan, serta berkomitmen untuk menjaga integritas institusi.
Selanjutnya, kegiatan pemanggilan aktivis Kontras oleh Polda Metro Jaya pasca-protes terhadap RUU TNI juga menjadi sorotan. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengungkapkan bahwa pemanggilan tersebut merupakan bagian dari upaya untuk membungkam suara publik. “Pemanggilan ini mencerminkan sikap otoritatif yang tidak menghendaki kritik dan penolakan dari masyarakat,” ujar Isnur.
Kontroversi lainnya hadir dari kasus penembakan bos rental mobil oleh anggota TNI Angkatan Laut. Tiga terdakwa dalam kasus ini terlihat emosional saat memohon di depan majelis hakim agar tidak dipecat dari keanggotaan TNI. Mereka menyatakan penyesalan atas perbuatan mereka yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Permohonan ini disampaikan dalam sidang di Pengadilan Militer Jakarta dan menggambarkan kompleksitas hubungan antara disiplin militer dan hukum yang berlaku.
Program legislasi yang terus berkembang, masalah etika dan penegakan hukum, serta tantangan terhadap kebebasan berpendapat menjadi gambaran nyata dari dinamika politik dan hukum di Indonesia saat ini. Dengan situasi yang terus berkembang, publik semakin menantikan sikap resmi dan langkah-langkah selanjutnya dari berbagai pihak terkait isu-isu yang mengemuka. Apakah revisi UU TNI akan menghasilkan dampak positif atau justru sebaliknya? Bagaimana penegakan hukum terhadap aparat yang melanggar norma? Pertanyaan-pertanyaan ini tetap menggantung dan menjadi fokus perhatian masyarakat luas.