
Isu politik dan hukum terkini di Indonesia kembali mencuat dengan dua topik utama yang menjadi sorotan publik: revisi Undang-Undang TNI dan pemecatan anggota polisi terkait praktik pungutan liar (pungli) di Sumatera Utara. Kedua peristiwa ini menandai dinamika penting dalam perkembangan hukum dan kebijakan di tanah air.
Revisi UU TNI, yang merupakan pembaruan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, kini menjadi tema hangat setelah mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Dalam rapat paripurna di DPR pada Rabu (19/3/2025), isu mengenai prajurit TNI aktif yang menjabat di kementerian atau lembaga (K/L) menjadi sorotan utama. Pengadilan militer akan tetap menangani kasus hukum yang melibatkan TNI aktif, sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Dari penjelasan Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada mekanisme koneksitas yang memungkinkan pengadilan umum untuk menangani kasus tertentu, prajurit TNI aktif tetap akan diadili dalam peradilan militer. “Karena masih prajurit TNI aktif, maka peradilannya peradilan militer, tetapi koneksitas yang nanti akan diurus di jaksa agung muda pidana militer Kejaksaan Agung,” ungkapnya.
Mekanisme koneksitas ini justru memberi ruang bagi pengadilan umum untuk menangani kasus yang melibatkan unsur sipil atau memiliki dampak luas, seperti tindak pidana korupsi. Ini merupakan langkah yang dinilai krusial untuk memastikan bahwa kasus-kasus besar yang melibatkan kepentingan publik dapat disidangkan dengan adil dan transparan.
Di sisi lain, berita mengenai pemecatan polisi terkait pungli sebesar Rp 4,7 miliar di Sumut semakin menambah ketegangan dalam isu penegakan hukum di Indonesia. Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, menegaskan perlunya tindakan tegas terhadap pelaku pungli, termasuk mendesak untuk memberikan hukuman pidana yang setimpal.
Isu pungli ini tidak hanya mencoreng citra Kepolisian tetapi juga menunjukkan tantangan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan jumlah angka yang signifikan Rp 4,7 miliar, situasi ini menuntut perhatian lebih dari pihak berwenang, baik dalam hal pencegahan maupun penegakan hukum.
Kedua isu ini menunjukkan dinamika yang kompleks dalam politik dan hukum Indonesia. Revisi UU TNI dianggap sebagai langkah untuk memperjelas dan memantapkan peran TNI dalam struktur pemerintahan, sementara kasus pungli menunjukkan urgensi penegakan hukum yang adil dan akuntabel.
Dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap revisi UU TNI akan diuji oleh bagaimana implementasinya ke depan, terutama dalam menjaga keseimbangan antara supremasi sipil dan peran TNI. Dalam konteks ini, partisipasi publik dan pengawasan media menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa semua pihak bertanggung jawab dan tidak ada lagi praktik-praktik kotor dalam pengelolaan negara maupun penegakan hukum.
Isu-isu ini bukan hanya sekadar urusan administrasi hukum; ini adalah gambaran dari keadaan sosial politik yang membutuhkan perhatian dan solusi bersama. Masyarakat berharap agar ke depan terdapat langkah konkret yang diambil oleh para pemangku kebijakan untuk mencegah terulangnya masalah yang sama, serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan pemerintahan.