
Israel telah menawarkan proposal gencatan senjata yang mengejutkan di Gaza dengan syarat pengembalian sekitar setengah dari sandera yang masih hidup. Tawaran ini diumumkan oleh pejabat Israel pada hari Senin, saat situasi di kawasan tersebut semakin memanas dengan operasi militer yang direncanakan. Gencatan senjata ini dapat membuka kemungkinan untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung sejak bulan Oktober 2023, yang telah menghancurkan banyak bagian dari Gaza, menewaskan puluhan ribu orang, dan memaksa hampir seluruh penduduk untuk mengungsi.
Menurut laporan, proposal tersebut mencakup pengembalian setengah dari 24 sandera yang diyakini masih hidup di Gaza, serta sekitar separuh dari 35 sandera yang diperkirakan tewas. Pengembalian ini diharapkan terjadi dalam rentang waktu gencatan senjata yang berkisar antara 40 hingga 50 hari. Pejabat yang berbicara secara anonim menekankan bahwa tawaran ini merupakan langkah signifikan menuju kesepakatan untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung lama.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, saat memberikan pernyataan, menegaskan bahwa tekanan militer yang berkelanjutan adalah cara terbaik untuk mengamankan pemulangan para sandera. Ia menambahkan, meskipun ada negosiasi yang berlangsung, Israel akan tetap meningkatkan tekanan pada Hamas untuk memaksa kelompok tersebut memenuhi syarat-syarat yang diajukan.
Hamas, sebagai respon terhadap usulan tersebut, mengungkapkan bahwa mereka telah menerima tawaran mediator dari Qatar dan Mesir. Berdasarkan informasi dari sumber keamanan, tawaran ini membutuhkan pembebasan lima sandera setiap minggu sebagai imbalan untuk gencatan senjata. Meskipun demikian, Hamas tetap menolak seruan Israel untuk melucuti senjata, yang mereka sebut sebagai “garis merah” yang tidak akan mereka langgar.
Militer Israel juga mengeluarkan perintah evakuasi untuk warga Palestina di sekitar kota selatan Rafah, dengan arahan untuk pindah ke Al Mawasi, sebuah daerah di garis pantai. Juru bicara militer berbahasa Arab mengungkapkan bahwa “tentara Israel kembali melakukan operasi intensif untuk membongkar kemampuan organisasi teroris di daerah-daerah ini.” Ini mencerminkan keseriusan Israel dalam meneruskan operasi militer walau ada tawaran gencatan senjata.
Sejak dimulai, konflik ini telah mengakibatkan kematian lebih dari 50.000 warga Palestina, sementara serangan terakhir Israel bahkan terjadi pada hari pertama Idul Fitri, saat banyak warga merayakan hari kemenangan bersama keluarga mereka. Tindakan ini memicu kritik internasional mengenai dampak kemanusiaan dari konflik tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, Netanyahu menyatakan bahwa pemimpin Hamas harus diizinkan meninggalkan Gaza dalam penyelesaian yang lebih luas, termasuk usulan dari Presiden AS untuk “emigrasi sukarela” warga Palestina dari wilayah tersebut. Pendekatan ini mendapat respons beragam, di mana Hamas bersedia mengizinkan pemerintahan Palestina lain menggantikan posisinya, tetapi tetap menginginkan peran dalam pemilihan pemerintahan masa depan.
Israel menekankan bahwa kelompok Hamas, yang telah menguasai Gaza sejak tahun 2007, tidak dapat memiliki peran dalam pemerintahan masa depan daerah tersebut. Pandangan ini mengindikasikan ketegangan yang mendalam antara kedua belah pihak dan tantangan yang dihadapi dalam mencapai kesepakatan damai yang berkelanjutan.
Dengan berlanjutnya ketegangan dan konflik, tawaran gencatan senjata ini mungkin menjadi titik terang dalam upaya untuk mencapai perdamaian. Meskipun ada syarat-syarat yang sulit dan perbedaan mendasar antara kedua belah pihak, harapan akan suatu solusi damai tetap ada di tengah ketidakpastian situasi yang terus berkembang di Gaza.