
Militer Israel mengumumkan rencananya untuk melaksanakan latihan militer di Dataran Tinggi Golan pada hari Kamis. Dataran Tinggi Golan merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan Israel sejak Perang Enam Hari pada tahun 1967. Dalam pernyataan resminya, Angkatan Darat Israel menyampaikan bahwa mobilisasi lebih banyak tentara dan kendaraan akan dilakukan di kawasan tersebut sebagai bagian dari latihan.
“Diperkirakan akan ada banyak ledakan yang dapat didengar,” kata Angkatan Darat Israel dalam pernyataannya. Meskipun menyiapkan latihan dengan banyak aktivitas militer, Israel menegaskan bahwa tindakan ini tidak terkait dengan adanya ancaman keamanan saat ini. Hal ini menjadi perhatian di tengah ketegangan yang masih ada di wilayah tersebut, terutama setelah situasi di Suriah berubah dengan kejatuhan rezim Bashar al-Assad.
Setelah jatuhnya pemerintahan Assad, Israel memperluas kendalinya di Dataran Tinggi Golan, termasuk mencaplok zona penyangga demiliterisasi yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tindakan ini dianggap melanggar perjanjian pelepasan yang ditandatangani pada tahun 1974, yang bertujuan untuk menjaga ketenteraman antara dua negara. Selain itu, Israel telah melancarkan ratusan serangan udara yang menargetkan lokasi-lokasi militer Suriah, yang menambah ketegangan di kawasan.
Rencana latihan militer ini muncul bersamaan dengan rencana Israel untuk memperluas pemukiman di Dataran Tinggi Golan. Pemerintah Israel baru-baru ini menyetujui perencanaan untuk menambah jumlah penduduk di wilayah tersebut dengan investasi sebesar 10,81 juta dolar AS. Rencana ini mencakup pembangunan desa pelajar, program pengembangan integrasi penduduk baru, serta inisiatif untuk meningkatkan pendidikan dan infrastruktur energi terbarukan. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menekankan pentingnya memperkuat kehadiran Israel di Golan, mengatakan, “Memperkuat Golan sama artinya dengan memperkuat Negara Israel dan hal ini sangat penting saat ini.”
Dataran Tinggi Golan, yang memiliki luas sekitar 1.800 kilometer persegi, dihuni oleh sekitar 24.000 orang Druze. Masyarakat Druze, sebagai minoritas Arab yang mempraktikkan aliran Islam, sebagian besar mengidentifikasi diri mereka sebagai warga Suriah. Banyak di antara mereka yang merasakan dampak dari kebijakan Israel mengenai pendudukan dan pemukiman.
Kondisi di kawasan ini semakin sulit dibaca setelah kejatuhan rezim Assad. Kehadiran aliansi pemberontak yang dipimpin oleh kelompok-kelompok Islamis menciptakan kekhawatiran baru bagi Israel, yang merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah preventif. Netanyahu mengklaim bahwa langkah memperkuat pemukiman ini merupakan langkah strategis mengingat “front baru” yang bisa muncul di perbatasan.
Reaksi terhadap tindakan militer Israel dan rencana perluasan pemukiman cukup negatif, baik dari negara-negara di kawasan maupun dari masyarakat internasional. Banyak pihak mengecam Israel atas tindakan yang dianggap melanggar kedaulatan Suriah dan menyerukan agar Israel menghormati perjanjian internasional.
Meski situasi di Golan kini ditandai dengan latihan militer yang intensif serta rencana ekspansi pemukiman, Israel tetap menegaskan bahwa semua aktivitas ini tidak dikaitkan dengan ancaman keamanan yang ada. Namun, ledakan yang akan menggema selama latihan ini bisa menjadi pengingat bagi komunitas internasional tentang kompleksitas dan kesulitan yang dihadapi di kawasan tersebut, di mana setiap tindakan militer tidak hanya mencerminkan kekuatan, tetapi juga menciptakan ketegangan yang lebih dalam.