Iran Kecam Ancaman Militer Israel, Program Nuklir Kian Tertekan

Kementerian Luar Negeri Iran pada Kamis (27/2) mengeluarkan pernyataan tegas melawan ancaman militer yang dilontarkan oleh Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, terkait program nuklir Teheran. Peringatan dari Saar muncul setelah ia mengungkapkan bahwa Israel mungkin perlu mempertimbangkan opsi militer untuk menghentikan Iran dari mengembangkan senjata nuklir. Hal ini menambah ketegangan yang sudah ada antara kedua negara.

Dalam wawancaranya dengan Politico, Menteri Saar menegaskan bahwa Iran telah memperkaya uranium dalam jumlah yang cukup untuk memproduksi beberapa bom nuklir. “Saya pikir untuk menghentikan program nuklir Iran sebelum dijadikan senjata, opsi militer yang andal harus dipertimbangkan,” ujarnya dalam artikel yang diterbitkan pada Rabu (26/2).

Menanggapi pernyataan tersebut, Esmaeil Baqaei, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, menganggap ancaman Israel sebagai “keterlaluan dan tidak rasional.” Baqaei menekankan bahwa sementara Israel terus mengancam dengan kemungkinan serangan, negara-negara Barat malah menyalahkan Iran atas kebijakan pertahanannya. Dalam unggahan di platform X (sebelumnya Twitter), Baqaei menyatakan, “Menteri luar negeri rezim Israel dan pejabat lainnya terus mengancam Iran dengan tindakan militer sementara Barat terus menyalahkan Iran atas kemampuan pertahanannya.” Ia juga menyebutkan bahwa di tengah ketegangan yang terus meningkat di kawasan, Iran merasa perlu untuk meningkatkan sistem pertahanan nasionalnya.

Pernyataan dari kedua belah pihak ini datang di tengah ketegangan yang meningkat dalam hubungan Iran dan Israel. Di awal bulan ini, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan bahwa Israel akan “menyelesaikan tugasnya” melawan Iran dengan dukungan dari Amerika Serikat. Iran dan Israel telah lama menjadi rival, dengan ketegangan meningkat hingga konfrontasi langsung yang terjadi pada tahun lalu, yang dipicu oleh situasi di Gaza.

Dalam konteks ini, kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Iran di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden juga memberi warna pada situasi. Sebelumnya, mantan Presiden Donald Trump menerapkan kebijakan “tekanan maksimum” dengan menerapkan sanksi ekonomi yang ketat terhadap Teheran, setelah menarik diri dari perjanjian nuklir 2015. Tuduhan bahwa Iran berusaha mengembangkan senjata nuklir terus disangkal oleh pemerintah Iran, yang menegaskan bahwa program nuklir mereka memiliki tujuan damai.

Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) pada Rabu (26/2) melaporkan bahwa Iran telah meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya tinggi secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Walaupun demikian, Teheran tetap berpendapat bahwa semua kegiatan nuklirnya ditujukan untuk keperluan damai.

Situasi menjadi semakin rumit dengan kebangkitan kembali kebijakan keras AS terhadap Iran, di mana Trump baru-baru ini memperlihatkan sinyal untuk kemungkinan mencapai kesepakatan baru. Namun, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menegaskan bahwa negosiasi dengan AS tidak akan menyelesaikan isu-isu yang ada. Dalam kondisi seperti ini, perhatian masyarakat internasional semakin tertuju pada perkembangan ketegangan antara Iran dan negara-negara Barat, serta bagaimana dampaknya terhadap stabilitas di Timur Tengah.

Ketegangan ini menunjukkan bahwa hubungan antara Iran dan Israel semakin memburuk, dengan ancaman militer sebagai salah satu isu utama yang dapat memicu konflik lebih lanjut. Sementara Iran berupaya mempertahankan program nuklir yang diklaimnya damai, Israel dan sekutunya menganggap langkah tersebut sebagai ancaman nyata yang harus dihadapi dengan tindakan keras. Kembali lagi, dunia menyaksikan dengan penuh perhatian, menanti langkah selanjutnya yang akan diambil oleh kedua pihak dalam situasi yang semakin memanas ini.

Back to top button