Ini Penyebab Rupiah Tertekan, Kata Pakar Ekonomi IPB University

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami penurunan yang signifikan dalam beberapa waktu belakangan ini. Menurut analisis dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Deniey Adi Purwanto, ada beragam faktor yang berkontribusi terhadap kondisi ini, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

Faktor pertama yang diidentifikasi adalah kebijakan fiskal pemerintah yang memicu kekhawatiran investor. Rencana pemerintah untuk menerapkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang melibatkan anggaran besar menciptakan kekhawatiran terkait keberlanjutan fiskal Indonesia. “Investor mulai ragu akan stabilitas fiskal yang dapat berdampak pada perekonomian jangka panjang,” ungkap Deniey.

Sementara itu, pernyataan Presiden Prabowo mengenai pasar saham juga menambah ketidakpastian di pasar modal. Banyak investor yang memilih untuk menarik dananya, yang semakin memperburuk kondisi nilai tukar rupiah. Mengingat Indonesia yang sangat bergantung pada impor barang dan jasa, situasi ini berpotensi menyebabkan defisit transaksi berjalan yang lebih dalam, sehingga meningkatkan permintaan terhadap dolar AS untuk membiayai impor tersebut.

Di sisi lain, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, saat ini masih sangat bergantung pada aliran modal asing untuk menutupi defisit fiskal dan transaksi berjalan. Dalam situasi gejolak ekonomi global, investor asing cenderung menarik dananya, yang makin menambah tekanan terhadap nilai mata uang domestik.

Faktor eksternal juga berperan penting dalam pelemahan nilai tukar rupiah. Deniey menjelaskan bahwa kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat berkontribusi pada kondisi ini. Kebijakan tersebut, yang memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang impor, menciptakan ketegangan dalam perdagangan global dan berdampak pada ekspor Indonesia.

Tak kalah penting, kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS juga mempengaruhi permintaan dolar. Ketika imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun meningkat, hal ini menarik aliran modal keluar dari negara-negara berkembang. Selain itu, keputusan The Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga acuan turut memperkuat daya tarik dolar AS.

Pelemahan nilai tukar rupiah tetap memiliki dampak positif dan negatif bagi perekonomian. Dalam jangka pendek, dampak negatif lebih mendominasi, terutama jika depresiasi berlangsung lama. Dampak negatif tersebut antara lain adalah kenaikan harga barang impor yang akan memicu inflasi, peningkatan beban utang luar negeri, dan penurunan kepercayaan pasar.

Deniey mencatat bahwa kenaikan harga barang impor dapat menekan daya beli masyarakat. Beban utang luar negeri, baik dari pemerintah maupun sektor swasta, yang dalam denominasi dolar juga akan meningkat, berpotensi menciptakan masalah dalam keberlanjutan anggaran. Namun, pelemahan rupiah juga dapat mendorong peningkatan ekspor karena produk Indonesia menjadi lebih kompetitif di pasar internasional, meskipun dampak positif ini terbatas jika kapasitas produksi terbatas dan ketergantungan bahan baku impor tinggi.

Di tengah semua tantangan ini, Deniey mendorong pemerintah dan Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar. Kebijakan jangka pendek dapat mencakup intervensi pasar valuta asing, penyesuaian suku bunga, dan pengendalian inflasi. Sementara itu, untuk kebijakan jangka menengah dan panjang, fokus diperlukan pada penguatan fundamental ekonomi, respons terhadap daya saing ekspor, serta pengembangan sektor domestik dan pariwisata.

Berinvestasi dalam peningkatan literasi keuangan dan inklusi juga menjadi langkah penting untuk memperkuat nilai tukar rupiah di masa depan. Keberadaan kebijakan yang terintegrasi dan kolaboratif akan menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini untuk menguatkan posisi rupiah di pasar global.

Berita Terkait

Back to top button