International Chambers of Commerce (ICC) menggelar 9th ICC European Conference on International Arbitration pada 7 dan 8 April 2025 di Paris, Perancis. Di pertemuan ini, berbagai negara mengirimkan delegasi untuk membahas isu-isu terkini mengenai arbitrase internasional, termasuk Indonesia yang berpartisipasi dengan mengirimkan tiga wakilnya.
Sebagai salah satu pemain penting dalam arbitrase internasional, ICC memiliki sejarah yang panjang sejak didirikan pada tahun 1919. Dalam kurun waktu tersebut, institusi ini telah membantu menyelesaikan sengketa komersial yang melibatkan lebih dari 45 juta perusahaan dari 170 negara. Meskipun perusahaan-perusahaan Indonesia sudah lama menggunakan ICC sebagai forum penyelesaian sengketa, data menunjukkan bahwa dominasi utama masih berada di tangan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Ini menggarisbawahi perlunya kolaborasi yang lebih intens dengan ICC untuk meningkatkan peran Indonesia di kancah arbitrase internasional.
Dalam kesempatan ini, tiga perwakilan dari ICC Indonesia terdiri dari Wincen Santoso, Rando Purba, dan Nico Mooduto, hadir untuk menyampaikan pandangan serta memberikan kontribusi dalam diskusi mengenai revisi aturan ICC. Mereka berasal dari latar belakang hukum dan memiliki pengalaman di bidang arbitrase baik nasional maupun internasional. Di bawah bimbingan Melanie Van Leeuwen dan Helene Shi, para delegasi mendiskusikan perubahan anggaran dasar dan peraturan terkait hukum acara arbitrase yang dianggap perlu diperbaharui agar relevan dengan perkembangan zaman, termasuk niatan untuk memasukkan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI).
Pertemuan yang dihadiri sekitar 650 perwakilan dari berbagai negara ini juga mencakup diskusi mengenai rencana perubahan yang diusulkan, yang telah dibahas dalam pertemuan sebelumnya di Mexico. Pada sesi pagi, Prof. Mohamed S. Abdel Wahab menyampaikan pentingnya ICC untuk tetap relevan dengan inovasi zaman, dan bagaimana kualitatif harus menjadi fokus dalam menangani arbitrase, bukan hanya kuantitas perkara yang diproses.
Delegasi Indonesia memanfaatkan kesempatan ini untuk berdiskusi dengan diplomat Indonesia di KBRI Paris tentang bagaimana ICC dapat berkolaborasi lebih lanjut dengan Indonesia, terutama dalam praktik terbaik di dunia arbitrase internasional. Diskusi ini diharapkan dapat mendorong kemitraan yang lebih erat antara ICC dan pelaku usaha di tanah air, yang pada gilirannya akan memperkuat iklim investasi di Indonesia.
Sikap inklusif ICC dalam menerima masukan dari delegasi juga menjadi hal positif. Para delegasi dari berbagai negara mempresentasikan pandangan dan pengalaman masing-masing, menciptakan ruang bagi dialog yang konstruktif. Hal ini penting untuk memastikan setiap perubahan regulasi yang diadopsi dapat memenuhi kebutuhan dan peraturan nasional masing-masing negara tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar arbitrase internasional.
Dalam pertemuan ini, tidak hanya rencana perubahan yang dibahasa, tetapi juga terdapat konsensus di antara delegasi mengenai beberapa usulan, yang akan dibahas lebih lanjut sebelum akhirnya diadopsi oleh ICC. Ini menunjukkan bahwa ICC menghargai keberagaman pandangan dan berkomitmen untuk mendengarkan suara para anggotanya.
Acara tersebut ditutup dengan jamuan makan malam di The Cercle de l’Union Interalliée, sebuah tempat bersejarah yang menjadi saksi bisu dari perjalanan arbitrase internasional. Momen ini menggambarkan pentingnya kolaborasi dan dialog antar negara untuk menyusun aturan yang tidak hanya efisien tetapi juga mencerminkan kebutuhan global yang beraneka ragam.
Dengan mengirimkan wakilnya ke konferensi ICC ini, Indonesia menunjukkan keseriusannya untuk terlibat secara aktif dalam revisi hukum arbitrase internasional dan berkolaborasi dengan ICC. Ini menjadi langkah strategis bagi negara untuk memperkuat daya saing dan menciptakan ekosistem usaha yang lebih baik di Indonesia.