Ilmuwan: Zaman Es Kembali Muncul di Bumi 11 Ribu Tahun Lagi!

Ilmuwan memprediksi bahwa zaman es berikutnya di Bumi akan dimulai dalam waktu sekitar 11.000 tahun mendatang, dengan syarat tidak ada intervensi signifikan dari pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Ini merupakan hasil studi terbaru yang dipimpin oleh profesor ilmu bumi, Barker, dari Universitas Cardiff di Inggris. Dalam wawancara dengan Live Science, Barker menjelaskan bahwa prediksinya menunjukkan bahwa zaman es tersebut akan terlihat dalam rentang waktu 10.000 tahun lagi.

Zaman es atau periode glasial merupakan fase di mana suhu Bumi turun secara signifikan, mengakibatkan terbentuknya lapisan es yang tebal yang menutupi sebagian besar planet ini selama ribuan tahun. Secara historis, periode-glacial terjadi kira-kira setiap 100.000 tahun dan dipisahkan oleh periode interglasial yang lebih hangat, di mana lapisan es menyusut ke arah kutub. Saat ini, Bumi berada dalam periode interglasial, dengan zaman es terakhir mencapai puncaknya sekitar 20.000 tahun yang lalu.

Salah satu teori yang menjelaskan fenomena ini adalah teori Milankovitch, yang dikemukakan oleh ilmuwan Serbia, Milutin Milankovitch, pada awal tahun 1920-an. Teori tersebut mengemukakan bahwa posisi dan kemiringan sumbu Bumi relatif terhadap Matahari dapat memicu terjadinya gelombang glasial besar-besaran. Dalam penelitian yang dilakukan selama lebih dari satu abad, ilmuwan mulai menemukan bukti-bukti geologis yang mendukung teori ini, termasuk dua parameter penting: kemiringan sumbu Bumi dan presesi, yang merujuk pada perubahan kemiringan sumbu Bumi dan gaya bergetarnya.

Penelitian terakhir yang dipimpin oleh Barker dan rekannya berhasil menguraikan pengaruh parameter-parameter ini dengan lebih jelas. Saat ini, sumbu Bumi miring pada sudut 23,5 derajat dari garis vertikal saat berputar mengelilingi Matahari. Sudut ini mempengaruhi jumlah energi matahari yang diterima masing-masing kutub. Selain itu, kemiringan sumbu Bumi juga mengalami perubahan yang bersifat siklus, berlangsung setiap 41.000 tahun, yang juga berpengaruh pada pembentukan es. Gejala lain, seperti goyangan sumbu, dapat mempengaruhi sinar matahari yang diterima di wilayah khatulistiwa selama musim panas dalam siklus 21.000 tahun.

Dari temuan ini, Barker dan timnya menekankan pentingnya membangun gambaran mengenai dampak perubahan iklim selama 10.000 hingga 20.000 tahun ke depan tanpa dampak langsung dari aktivitas manusia. Tujuan penelitian ini adalah memberikan kejelasan tentang bagaimana perilaku manusia, terutama emisi gas rumah kaca, dapat berimplikasi terhadap planet ini dalam jangka panjang.

Sementara itu, para peneliti mengingatkan bahwa prediksi ini tidak memperhitungkan faktor-faktor yang disebabkan oleh pemanasan global. Meningkatnya emisi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia dapat menyebabkan Bumi tetap hangat, sehingga mencegah terjadinya periode glasial berikutnya. Ini merupakan hal yang menjadi sorotan utama para ilmuwan di bidang perubahan iklim.

Dengan hasil penelitian ini, berbagai pertanyaan penting muncul mengenai what if—apa yang akan terjadi jika emisi gas rumah kaca terus meningkat? Dalam konteks ini, penelitian yang dipimpin Barker memiliki implikasi yang jauh lebih besar untuk memahami tidak hanya sejarah iklim Bumi, tetapi juga untuk meramalkan kondisi masa depan yang akan dihadapi umat manusia. Melihat kembali sejarah, pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem Bumi merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim yang kian mendesak.

Back to top button