
Para ilmuwan dari Allen Institute, Baylor College of Medicine, dan Princeton University telah menciptakan peta tiga dimensi (3D) otak tikus yang paling rinci hingga saat ini. Penelitian ini merupakan hasil kerja sama 150 ilmuwan dari 22 institusi dan menawarkan wawasan yang mendalam tentang struktur, fungsi, dan aktivitas neuron di otak mamalia tersebut. Dengan merinci 84.000 neuron, lebih dari 500 juta sinaps, dan 200.000 sel otak, peta ini mengandung data yang sangat besar, mencapai 1,6 petabyte meski hanya mencakup 1/500 dari volume penuh otak tikus.
Dr. Forrest Collman dari Allen Institute menjelaskan bahwa salah satu hasil signifikan dari proyek ini adalah keindahan otak itu sendiri. “Melihat neuron-neuron ini membuat kita memahami detail dan skalanya dengan cara yang menimbulkan kekaguman — seperti saat kita melihat gambar galaksi yang sangat jauh,” ungkapnya. Penelitian ini, yang disebut The Machine Intelligence from Cortical Networks (MICrONS), telah diterbitkan dalam beberapa makalah di jurnal Nature pada 9 April.
Proses pembuatan peta dimulai di Baylor College of Medicine, di mana ilmuwan menggunakan mikroskop canggih untuk merekam aktivitas otak pada bagian jaringan seluas satu milimeter kubik dalam korteks visual tikus. Tikus dalam kondisi terjaga dan dirangsang dengan cuplikan film termasuk film aksi dan olahraga ekstrem. Setelah eksperimen selesai, otak tikus disuntik mati dan jaringan diambil untuk diproses lebih lanjut di Allen Institute.
Tim di Allen Institute kemudian memotong jaringan otak menjadi lebih dari 28.000 lapisan, yang masing-masing setebal 1/400 dari lebar sehelai rambut manusia. Setiap lapisan dipotret dan direkonstruksi menjadi gambaran komposit. Dr. Nuno Maçarico da Costa yang terlibat dalam penelitian ini menggambarkan proses ini sebagai proses yang menegangkan sehingga memerlukan penjagaan sepanjang waktu untuk menghindari kehilangan data yang bisa mengganggu eksperimen.
Selanjutnya, tim di Princeton University menerapkan teknologi pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan (AI) untuk menelusuri kontur setiap neuron dari gambar yang dihasilkan. Proses segmentasi ini memungkinkan peneliti untuk memberi warna yang berbeda pada setiap neuron, sehingga memudahkan pemahaman struktur otak secara keseluruhan. Hasil dari kerja keras ini adalah gambaran utuh dari connectome otak tikus, menciptakan basis bagi apa yang disebut sebagai “transformasi digital ilmu otak”.
Dr. Sebastian Seung dari Princeton menyatakan, “Connectome adalah awal dari transformasi digital ilmu otak.” Dia menambahkan bahwa dengan menggunakan teknologi ini, informasi yang sebelumnya memakan waktu berbulan-bulan untuk dikumpulkan kini bisa diakses dalam hitungan detik. Transformasi digital telah membuka jalan baru bagi para peneliti untuk menggali lebih dalam ke dalam mekanisme kerja otak.
Namun, pencapaian ini juga menantang visi ilmiah masa lalu. Ahli biologi molekuler Francis Crick pernah menyatakan bahwa memetakan sambungan saraf dalam satu milimeter kubik jaringan otak adalah hal yang mustahil. Dengan keberhasilan ini, ilmuwan kini menciptakan tonggak baru dalam studi neurologi, melanjutkan usaha pemetaan struktur otak yang sudah dimulai sebelumnya, termasuk upaya pemetaan otak cacing nematoda dan neuron otak lalat buah.
Meskipun proyek ini memberikan wawasan baru, tantangan dalam memetakan otak manusia jauh lebih kompleks. “Otak manusia sekitar 1.500 kali lebih besar,” kata Dr. Collman, menjelaskan banyaknya tantangan teknis dan etika yang perlu diatasi. Tetapi Dr. Clay Reid dari Allen Institute optimis bahwa suatu saat kelak, kita mungkin dapat menelusuri akson di seluruh otak manusia.
Penemuan ini memiliki potensi besar tidak hanya untuk ilmu dasar, tetapi juga untuk pemahaman dan pengobatan berbagai gangguan neurologis seperti Alzheimer, Parkinson, autisme, dan skizofrenia. Dr. Mariela Petkova dan Dr. Gregor Schuhknecht dari Harvard University mencatat bahwa memahami bentuk dan fungsi neokorteks bisa membuka peluang baru bagi penelitian penyakit otak, menjadikannya sebagai peta yang bisa membantu dalam diagnosis dan intervensi klinis bagi gangguan sirkuit saraf manusia.
Peta 3D ini tidak hanya merevolusi pemahaman kita tentang otak tikus, tetapi juga membuka peluang untuk studi yang lebih dalam dan pemetaan tantangan neurobiologi yang lebih ambisius di masa depan.