
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, baru-baru ini dinyatakan lolos administrasi sebagai salah satu calon hakim agung di Mahkamah Agung (MA). Namun, langkah ini mendapatkan protes keras dari Indonesia Corruption Watch (ICW), yang mendesak Komisi Yudisial (KY) untuk meninjau kembali kelayakan Ghufron. Pasalnya, integritas Ghufron dinilai bermasalah, mengingat ia terlibat dalam kasus dugaan pelanggaran etik ketika masih menjabat di KPK.
Erma Nuzulia, peneliti dari ICW, menyoroti bahwa Nurul Ghufron tidak seharusnya lolos ke tahap selanjutnya mengingat latar belakangnya yang dipenuhi dengan masalah integritas. Ia menyatakan, “Lolosnya Nurul Ghufron menjadi persoalan, sebab dia pernah dijatuhi sanksi etik atas intervensi yang dilakukan terkait mutasi pegawai di Kementerian Pertanian.” Hal ini menunjukkan bahwa ada catatan negatif dalam karier Ghufron yang seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam seleksi calon hakim agung.
Nurul Ghufron, yang masuk urutan ke-43 dalam daftar calon hakim agung, diketahui telah menerima sanksi dari Dewan Pengawas KPK terkait penyalahgunaan wewenang. Dalam konteks ini, ICW memperingatkan bahwa penerimaan Ghufron sebagai calon hakim agung dapat menciptakan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Erma menambahkan, “Integritas calon hakim agung harus dinilai sejak tahap administrasi, termasuk rekam jejaknya.”
Mahkamah Agung memiliki peran krusial dalam penegakan hukum dan pengawasan peradilan. Dengan statusnya sebagai pengadilan negara tertinggi, lembaga ini diharapkan bebas dari potensi konflik kepentingan dan harus menjalankan tugasnya secara independen. Keberadaan calon yang bermasalah, seperti Ghufron, dinilai bisa berkontribusi pada praktik mafia peradilan yang selama ini dicari untuk diberantas.
ICW juga mencatat bahwa daftar hakim agung yang terlibat dalam kasus rasuah di masa lalu, seperti Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati, membuat situasi ini semakin mengkhawatirkan. Erma menegaskan bahwa kerasnya seleksi untuk calon hakim agung seharusnya menjadi tahap penting untuk membenahi citra dan integritas Mahkamah Agung.
Dari data yang dibagikan, sebanyak 161 orang calon hakim agung dan 18 calon hakim ad hoc HAM di MA telah dinyatakan lolos seleksi administrasi. Namun, ICW mendesak agar ada perbaikan dalam Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2025 untuk memasukkan pelanggaran etik sebagai salah satu syarat dalam seleksi calon hakim agung nonkarier.
Desakan ICW agar KY tidak meloloskan Nurul Ghufron lebih jauh siang kemarin mengedepankan keharusan bagi lembaga tersebut untuk meninjau secara teliti rekam jejak dan integritas calon lainnya yang juga telah lolos tahap administrasi. Dalam hal ini, KY memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kredibilitas lembaganya dan memastikan bahwa hanya kandidat yang benar-benar kompeten dan berintegritas yang dapat mengisi posisi penting tersebut.
Dalam situasi ini, pembaca dapat menyimpulkan bahwa proses seleksi hakim agung di Mahkamah Agung bukan hanya sekedar teknis administrasi, tetapi juga berkaitan erat dengan upaya membangun kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu, langkah yang diambil oleh Komisi Yudisial dalam menyikapi kasus Nurul Ghufron akan menjadi sorotan yang mempertegas komitmen mereka terhadap integritas dan keadilan.