
Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya melindungi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat adat. Di Indonesia, salah satu inisiatif yang menarik perhatian adalah proyek PERMATA yang diusung oleh Kitong Bisa Foundation (KBF). Dukungannya dari Norwegian Climate and Forest Initiative (NICFI) dan Samdhana Institute membuka peluang bagi masyarakat adat, khususnya di Papua, untuk berkembang secara ekonomi sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Proyek PERMATA berfokus pada pengembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM) di wilayah Bintuni, Papua Barat, dan Merauke, Papua Selatan. Program Manajer PERMATA, June Hutabarat, menekankan bahwa kegiatan konservasi alam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. “Kami merancang program agar setiap usaha yang tumbuh juga membawa nilai konservasi. Momentum Hari Bumi ini mengingatkan kita bahwa perlindungan alam tidak bisa dipisahkan dari penghidupan masyarakat,” ujarnya dalam keterangan resminya.
Dalam pelaksanaan proyek ini, KBF tidak hanya berfokus pada keberlangsungan ekosistem, tetapi juga memberikan literasi keuangan dan pelatihan di sektor pertanian yang terintegrasi. Masyarakat adat diberikan kemampuan dalam branding, kebersihan produk, perizinan, dan digital marketing. Hal ini penting agar mereka dapat mandiri dan menerapkan prinsip keberlanjutan dalam setiap aktivitas ekonomi. TCEO KBF, Miraldo Jeftason, menambahkan, “Peringatan Hari Bumi ini penting untuk mengingatkan kita bahwa solusi krisis iklim bisa datang dari kampung-kampung kecil di pelosok Papua. Kami melihat bahwa ketika masyarakat adat diberi ruang, dukungan, dan kepercayaan, mereka bisa jadi garda terdepan penyelamat bumi.”
Sebagai dampak dari program tersebut, KBF Indonesia mencatat bahwa selama empat tahun pelaksanaannya, sekitar 20% rumah tangga mengalami pertumbuhan pendapatan yang signifikan. Salah satu pelaku UMKM yang terlibat, Chika, mengungkapkan pengalamannya, “Saya mengucap syukur sekali. Bersama Kitong Bisa, usaha saya semakin maju. Saya banyak sekali mendapatkan bantuan dari Permata dan Kitong Bisa, akhirnya banyak hal yang saya dapatkan. Semoga teman-teman pelaku usaha lainnya bisa terus semangat meningkatkan usahanya.” Chika adalah pemilik usaha Gazz Rajut yang telah merasakan dampak positif dari inisiatif ini.
Selain usaha rajut milik Chika, terdapat pula Kelompok Perempuan Subebunate yang memproduksi nuget tradisional. Usaha ini berhasil menjual sekitar 100 bungkus setiap bulannya. Di sisi lain, kelompok nelayan Tobati melaporkan hasil tangkapan ikan yang meningkat, mencapai lebih dari 7 ton. Sementara itu, kelompok nelayan kepiting “Tidur Tak Sono” berhasil meningkatkan hasil tangkapan musiman menjadi sekitar 20 kotak per tangkapan.
Data dan kisah sukses ini menunjukkan bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adat tidak hanya meningkatkan pendapatan tetapi juga mampu memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian alam. Masyarakat adat memiliki pengetahuan dan kearifan lokal yang bisa menjadi modal penting dalam upaya menjaga lingkungan.
Hari Bumi tahun ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya memberikan dukungan kepada masyarakat adat. Dengan memberdayakan mereka, kita tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga memberikan suara kepada mereka yang seringkali terpinggirkan. Inisiatif seperti yang dilakukan oleh KBF perlu dicontoh dan diperluas, agar masyarakat di seluruh Indonesia bisa merasakan manfaat dari pelestarian lingkungan dan peningkatan ekonomi secara bersamaan.