
Hamas mengungkapkan kesiapannya untuk membebaskan seorang tentara Israel bernama Edan Alexander, yang juga berkewarganegaraan Amerika, serta jenazah empat warga negara ganda lainnya dalam kerangka perundingan gencatan senjata yang berlangsung di Jalur Gaza. Pernyataan ini disampaikan pada hari Jumat menyusul dimulainya putaran terbaru dari dialog tidak langsung di ibu kota Qatar, Doha, antara delegasi Hamas dan tim negosiator dari Israel.
Seorang pejabat senior Hamas mengonfirmasi bahwa kelompok tersebut telah menerima usulan dari mediator untuk melanjutkan pembicaraan. “Kemarin, delegasi pimpinan Hamas menerima usulan dari mediator persaudaraan, dan tanggapan kami mencakup persetujuan untuk membebaskan Edan Alexander serta jenazah empat orang lainnya dengan kewarganegaraan ganda,” ujar pejabat tersebut.
Perundingan ini muncul setelah berakhirnya tahap pertama gencatan senjata pada 1 Maret 2025, yang tidak berhasil memunculkan kesepakatan untuk tahap berikutnya. Selama enam minggu gencatan senjata awal, Hamas telah membebaskan 33 sandera, termasuk delapan jenazah, sebagai imbalan atas pembebasan sekitar 1.800 tahanan Palestina dari penjara Israel. Proses ini mencerminkan dinamika kompleks yang melibatkan negosiasi dan tawar menawar yang mendalam antara kedua belah pihak.
Di sisi lain, terkait pengungsi Palestina yang menyusul konflik bersenjata di Gaza, terdapat laporan dari Associated Press yang menyebutkan bahwa Amerika Serikat dan Israel telah menjalin komunikasi dengan pejabat dari Sudan, Somalia, dan Somaliland. Tujuannya adalah untuk mengeksplorasi kemungkinan penggunaan wilayah tersebut sebagai tempat penampungan bagi warga Palestina yang terdampak konflik. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari Sudan, sementara pejabat Somalia dan Somaliland menyatakan ketidaktahuan mengenai adanya kontak terkait proposal tersebut.
Pihak Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri AS belum memberikan tanggapan resmi mengenai laporan-laporan itu, sama halnya dengan kementerian luar negeri Sudan yang saat ini tengah menghadapi situasi perang saudara. Perang tersebut telah mengakibatkan sekira 12 juta warga Sudan mengungsi, berkontribusi pada krisis kemanusiaan yang melanda kawasan tersebut.
Di sisi lain, pemimpin Arab, termasuk mereka dari Sudan dan Somalia, baru-baru ini mengadopsi rencana rekonstruksi untuk Gaza senilai $53 miliar yang diusulkan oleh Mesir. Rencana tersebut bertujuan untuk mencegah pengusiran warga Palestina dari wilayah mereka, yang bertentangan dengan visi mantan Presiden AS Donald Trump untuk mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah” melalui pengambilalihan oleh AS dan relokasi permanen warga Palestina.
Perang yang terjadi di Gaza sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 48.000 warga Palestina, menurut data resmi dari pejabat kesehatan setempat. Konflik ini telah memicu kekhawatiran global yang mendalam, terutama berkenaan dengan keselamatan dan nasib warga sipil di wilayah tersebut. Sementara itu, rencana relokasi warga Palestina yang diajukan oleh Trump semakin menambah ketakutan bahwa mereka akan kehilangan tanah air mereka secara permanen, sebuah isu sentral dalam konflik Israel-Palestina.
Perundingan di Doha kini menjadi titik fokus harapan untuk meredakan ketegangan yang terus membara, meskipun tantangan besar masih menghadang kedua belah pihak dalam mencapai kesepakatan yang berkelanjutan. Dalam konteks situasi yang semakin kompleks ini, upaya diplomasi dan negosiasi memang sangat diperlukan untuk membuka jalan menuju penyelesaian yang dapat menguntungkan semua pihak yang terlibat.