
Guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Marthen Napang, dijatuhkan vonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu, 12 Maret 2025. Marthen terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penipuan dan pemalsuan dokumen Mahkamah Agung (MA). Dalam keputusan ini, ketua majelis hakim Buyung Dwikora menyatakan, “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Profesor Doktor Marthen Napang, SH, MH dengan pidana penjara selama 1 tahun.”
Putusan ini lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta hukuman empat tahun penjara, berdasarkan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan dokumen dan Pasal 378 KUHP mengenai penipuan.
Kasus ini bermula dari laporan yang dibuat oleh John Palinggi, seorang korban yang mengklaim mengalami kerugian mencapai Rp 950 juta akibat tindakan Marthen Napang. Dalam laporannya, John Palinggi menuduh Marthen telah memalsukan dokumen keputusan MA yang seolah-olah menguntungkan orang tua angkatnya, A Setiawan. Namun, setelah melakukan pengecekan langsung di MA, John mengetahui bahwa isi dari putusan tersebut ditolak.
John Palinggi menyampaikan pendapatnya mengenai keputusan hakim setelah vonis dibacakan. Ia mengaku menghormati putusan tersebut, namun merasa belum sepenuhnya mendapatkan keadilan. “Saya menghormati hakim, tetapi kalau saya pikirkan, saya tujuh tahun lebih berjuang untuk hal-hal yang benar ini. Saya tidak pernah berpikir ditipu dengan uang Rp 950 juta, itu akan kembali uang saya, karena ini pidana,” ujarnya.
Dalam pandangan John, perjuangannya bukan sekadar untuk mengganti rugi finansial, tetapi juga untuk menjaga martabat MA, yang menurutnya telah dirugikan oleh tindakan pemalsuan Marthen Napang. “Saya bisa mati dan menyesal hidup di bangsa ini kalau sampai pemalsuan surat MA tidak memperoleh tanggapan. Kenapa orang lain tidak bisa menjaga itu,” tambahnya dengan penuh emosi.
Marthen Napang dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada Agustus 2017, di tengah dugaan pemalsuan yang dilakukannya. Investigasi oleh pihak kepolisian culminated dengan penetapan Marthen sebagai tersangka pada 4 Juni 2024, meski ia sempat mengajukan praperadilan yang ditolak oleh hakim PN Jakarta Selatan.
Kasus ini tidak hanya menarik perhatian masyarakat karena melibatkan seorang akademisi ternama, tetapi juga memunculkan banyak pertanyaan mengenai integritas dan kredibilitas dokumen resmi, terutama dari institusi yang seharusnya menjadi panutan dalam menjalankan hukum.
Dalam proses persidangan, tindakan pemalsuan dokumen menjadi sorotan, dan hakim menyatakan bahwa ada bukti yang cukup untuk menjatuhkan hukuman kepada Marthen Napang. Namun, beberapa pihak menganggap vonis satu tahun penjara tersebut terlalu ringan, mengingat tentu dampak dari tindakan yang telah merugikan banyak pihak terutama korban.
Keputusan ini memicu berbagai reaksi di tengah masyarakat akademis, dengan banyak yang menilai bahwa kasus ini menjadi pengingat pentingnya integritas dan transparansi dalam ranah hukum dan pendidikan. Itulah sebabnya penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga seperti MA dan akademisi seperti Marthen Napang. Masyarakat kini menanti langkah selanjutnya dari setiap pihak yang terlibat, serta mengharapkan langkah-langkah preventif agar kasus serupa tidak terulang di kemudian hari.