Gubernur Riau Didesak Perbaiki Tata Ruang, Bukan Hanya Sembako

Gubernur Riau, Abdul Wahid, dihadapkan pada desakan untuk menghentikan praktik bagi-bagi sembako kepada korban banjir dan lebih memfokuskan perhatian pada perbaikan tata ruang. Diskusi ini menjadi semakin relevan seiring dengan data terbaru yang menunjukkan tingginya frekuensi banjir di wilayah tersebut. Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menegaskan bahwa solusi jangka panjang harus dicari untuk mengatasi masalah mendasar yang menyebabkan banjir, yaitu permasalahan deforestasi dan penataan penggunaan lahan.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBD Damkar) Riau, sepanjang Januari hingga Maret 2025, telah terjadi 43 kejadian banjir di lima kabupaten, yaitu Kampar, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, dan Pelalawan. Banjir tersebut telah berdampak pada sekitar 7.000 kepala keluarga, serta merusak fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur lainnya.

Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, menyatakan, “Cukup dinas terkait yang turun menyalurkan bantuan sembako untuk korban banjir. Gubernur mestinya mengkaji tata ruang dan mengevaluasi izin korporasi HTI dan perusahaan sawit yang menjadi penyebab deforestasi.” Dalam konteks ini, evaluasi terhadap izin perusahaan adalah langkah vital untuk menghentikan penyebab utama bencana yang secara langsung berdampak pada masyarakat.

Dalam kunjungannya ke Desa Sendayan, Kampar Utara, pasca banjir pada 3 Maret, Gubernur Abdul Wahid memberikan bantuan sembako dan mengumumkan rencananya untuk mencari solusi dengan membangun bendungan. Namun, Jikalahari mengkritik pendekatannya yang dinilai terlalu sederhana. Okto menegaskan bahwa masalah banjir tidak dapat dipandang dari satu aspek saja, seperti pembukaan pintu PLTA Koto Panjang, namun harus dilihat dari berbagai faktor, termasuk pengelolaan lahan.

Dalam analisis yang dilakukan Jikalahari, curah hujan bukanlah satu-satunya penyebab, tetapi juga adanya aktivitas pembukaan hutan menjadi perkebunan sawit dan HTI di sepanjang sungai-sungai besar di Riau. Di Rokan Hulu, misalnya, banjir telah merusak 20 desa dan menyebabkan Jembatan Horas putus, memperlambat akses transportasi. Di Kampar, 18 desa juga mengalami dampak serupa, dan ditemukan bahwa terdapat 27 perusahaan perkebunan sawit dan 2 perusahaan HTI di sekitar wilayah yang terdampak banjir.

Data terbaru menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 hingga 2024, sekitar 81% dari total 28.176 hektare hutan alam di sekitar kawasan yang terdampak banjir telah mengalami deforestasi. Dengan demikian, Jikalahari merekomendasikan perbaikan tata ruang dan kajian ulang terhadap izin perusahaan-perusahaan HTI dan perkebunan sawit yang beroperasi di sepanjang Sungai Kampar, Rokan, dan Indragiri.

Langkah-langkah ini diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam penanganan banjir yang rutin melanda daerah tersebut. Bagi masyarakat, kontribusi nyata dari pemerintah bukan hanya terletak pada bantuan temporer seperti sembako, tetapi pada tindakan berkelanjutan yang mampu mengatasi akar permasalahan lingkungan. Setiap kebijakan yang diambil harus menjawab tuntutan ini agar kedepannya, Riau tidak menjadi langganan bencana banjir yang disebabkan oleh ulah manusia.

Berita Terkait

Back to top button