
Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) mengungkapkan bahwa Korea Utara terlibat dalam pencurian aset digital senilai $1,5 miliar atau sekitar Rp24 triliun, yang merupakan kasus terbesar dalam sejarah pencurian kripto. Pencurian ini terjadi minggu lalu melalui bursa mata uang kripto Bybit. FBI menuduh kelompok hacker yang dikenal dengan nama TraderTraitor, yang juga diidentifikasi sebagai Lazarus Group, sebagai pelaku utama di balik aksi kejahatan siber ini.
Dalam pengumuman layanan publiknya, FBI menyatakan, “Korea Utara bertanggung jawab atas pencurian aset virtual senilai sekitar $1,5 miliar USD dari bursa mata uang kripto, Bybit.” Pihak FBI menyebut, setelah mencuri aset tersebut, kelompok ini dengan cepat melakukan konversi sebagian dari uang yang dicuri menjadi Bitcoin dan mata uang virtual lainnya. Proses ini dilakukan dengan menyebarkan aset tersebut di ribuan alamat yang berbeda di berbagai blockchain.
FBI memperkirakan bahwa aset-aset ini akan mengalami proses pencucian lebih lanjut sebelum akhirnya diubah menjadi mata uang fiat, yang membuka celah bagi mereka untuk memanfaatkan hasil pencurian tanpa terdeteksi. Pencurian ini merupakan salah satu aksi yang paling ambisius dan berisiko tinggi oleh kelompok tersebut, sejalan dengan upaya Korea Utara untuk meraih dana melalui metode tidak sah.
Lazarus Group terkenal di kalangan para ahli keamanan siber karena keterlibatannya dalam berbagai serangan siber besar, termasuk peretasan Sony Pictures pada tahun 2014 sebagai reaksi terhadap film “The Interview”, yang dianggap menghina pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Tindakan tersebut menandai awal dari reputasi Lazarus Group sebagai ancaman serius dalam dunia peretasan.
Pengawasan terhadap program perang siber Korea Utara bukanlah hal baru. Sejak awal tahun 1990-an, negara tersebut telah membangun program siber yang kini terkenal sebagai Biro 121, yang memiliki sekitar 6.000 personel. Menurut laporan militer Amerika Serikat pada tahun 2020, Biro 121 telah memperluas operasionalnya ke berbagai negara, menjadikannya salah satu aktor utama dalam dunia siber. Dalam tahun-tahun terakhir, berbagai laporan telah mencatat bahwa serangan siber yang dilakukan oleh kelompok ini tidak hanya ditargetkan pada entitas swasta, tetapi juga mencakup serangan yang bisa membebani pemerintahan.
Keberhasilan aksi pencurian ini menunjukkan bahwa meskipun negara-negara seperti Amerika Serikat melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kejahatan siber, kelompok peretas yang terorganisir seperti Lazarus Group tetap bisa mengeksploitasi celah keamanan untuk mencapai tujuan mereka. Menurut analisis para pakar, serangan yang dilakukan oleh kelompok siber dari Korea Utara ini bukan hanya sekadar upaya untuk mendapatkan keuntungan finansial, tetapi juga dapat digunakan untuk membiayai program-program yang mendukung kepentingan pemerintah Korea Utara.
Tindakan FBI ini telah memicu diskusi lebih lanjut mengenai perlunya penguatan infrastruktur keamanan siber, baik di sektor publik maupun swasta. Dengan jumlah uang yang terlibat dalam pencurian ini, negara-negara lain dan organisasi internasional diharapkan akan lebih waspada dan memperkuat kerjasama untuk mencegah kebocoran data serta pencurian aset digital. Langkah-langkah mitigasi, seperti peningkatan kesadaran terhadap potensi ancaman siber, penguatan sistem keamanan, serta investasi dalam teknologi yang dapat mendeteksi dan menangkal serangan, menjadi semakin penting di era digital ini.
Dengan situasi yang terus berkembang, penting untuk tetap mengikuti perkembangan berita mengenai pencurian aset digital ini dan langkah-langkah yang akan diambil oleh pemerintah serta lembaga terkait untuk menjaga keamanan informasi di dunia maya.