
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) menjadi salah satu masalah kesehatan yang semakin meningkat di seluruh dunia. Menurut data yang dirilis oleh Octopus, PGK menyumbang 4,6% dari total kematian global pada tahun 2017 dan diperkirakan akan menduduki peringkat kelima sebagai penyebab kematian tertinggi pada tahun 2040. Di Indonesia sendiri, prevalensi PGK yang tercatat pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2018 mencapai 0,38%, menunjukkan adanya tren yang mengkhawatirkan dan mendesak untuk penanganan serius terhadap penyakit ini.
Salah satu dampak paling serius dari PGK adalah peningkatan kebutuhan pasien untuk menjalani dialisis atau cuci darah. Data dari registri Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada tahun 2022 mencatat insidensi kumulatif pasien dialisis sebanyak 63.498 orang, dengan total prevalensi kumulatif mencapai 158.929 orang. Para ahli menyebutkan bahwa hipertensi dan diabetes adalah dua penyebab utama gagal ginjal yang dapat menyebabkan pasien harus menerima terapi pengganti ginjal.
Ketua Umum PERNEFRI, Dr. dr. Pringgodigdo Nugroho, SpPD-KGH, menjelaskan bahwa ginjal memiliki berbagai fungsi penting dalam tubuh, termasuk menjaga keseimbangan elektrolit, mengontrol tekanan darah, dan memproduksi sel darah merah. Sengketa kesehatan ginjal sering kali tidak terdeteksi hingga fungsi ginjal telah mengalami kerusakan hingga 90%. Oleh karena itu, deteksi dini menjadi sangat penting.
Beberapa populasi yang dianggap berisiko tinggi untuk mengembangkan PGK meliputi individu dengan riwayat diabetes, hipertensi, penyakit jantung, obesitas, serta mereka yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ginjal. Dalam upaya pencegahan, skrining dan deteksi dini perlu dilakukan, dan ini diakui sebagai langkah yang sangat krusial.
Kementerian Kesehatan telah mencetuskan berbagai program untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan ginjal, termasuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara gratis. Beberapa tes yang disarankan untuk mendeteksi PGK pada populasi berisiko tinggi mencakup pengukuran tekanan darah, pemeriksaan urin untuk mendeteksi albuminuria, serta tes darah untuk memeriksa kadar kreatinin serum dan hemoglobin terglikasi (HbA1c) untuk diabetes.
Dr. Siti Nadia Tarmizi, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, juga menyoroti bahwa perilaku gaya hidup yang tidak sehat, termasuk kurangnya konsumsi cairan, berkontribusi pada menurunnya fungsi ginjal. Oleh karena itu, penting untuk melakukan perbaikan pola hidup, termasuk aktivitas fisik yang memadai dan konsumsi cairan yang cukup.
Melihat situasi ini, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) aktif berupaya melakukan advokasi mengenai kebijakan kesehatan dan hak-hak pasien gagal ginjal. KPCDI menyelenggarakan program skrining gratis, pendampingan untuk pasien baru, serta kolaborasi dengan pemerintah untuk meningkatkan akses layanan kesehatan ginjal.
Munculnya inisiatif seperti Hari Ginjal Sedunia, yang diperingati setiap tahun pada hari Kamis kedua bulan Maret, menjadi kesempatan penting untuk meningkatkan kesadaran akan penyakit ini. Tahun ini, tema yang diusung adalah “Are your kidneys OK? Detect early, protect kidney health,” mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan skrining dan deteksi dini untuk mencegah progresivitas penyakit ginjal.
Menanggapi fenomena peningkatan PGK, Dr. Ari Dwi Aryani dari BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa biaya layanan kesehatan untuk gagal ginjal terus meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 11 triliun. Oleh karena itu, program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) perlu dimaksimalkan agar lebih banyak pasien yang bisa menjalani skrining penyakit ginjal.
Dengan demikian, upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi kesehatan sangat dibutuhkan untuk menanggulangi PGK, meningkatkan kesadaran, serta memberikan akses yang memadai bagi mereka yang berisiko. Masyarakat diharapkan aktif berpartisipasi dalam menjaga kesehatan ginjal mereka demi mengurangi beban bagi individu dan sistem kesehatan secara keseluruhan.