Glaukoma menjadi salah satu masalah kesehatan mata yang sering kali memicu kecemasan di kalangan masyarakat. Terlebih lagi, banyak mitos yang beredar seputar penyakit ini yang dapat memicu kesalahpahaman. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2023, dari total 39 juta kasus kebutaan di seluruh dunia, sekitar 3,2 juta di antaranya disebabkan oleh glaukoma. Angka prevalensi glaukoma mencapai 0,46%, atau setara dengan 4 hingga 5 orang per 1.000 penduduk.
Penyakit ini merupakan kondisi neuropati optik progresif yang sering kali tidak menunjukkan gejala di tahap awal. Hal ini menyebabkan banyak penderita baru menyadari adanya masalah serius saat fungsi penglihatan mereka mulai menurun. Dr. Iwan Soebijantoro, SpM(K), seorang konsultan oftalmologi di JEC Eye Hospitals and Clinics, menjelaskan bahwa 80 persen kasus glaukoma tidak memperlihatkan gejala sampai ke titik kritis. "Penderita sering kali terdiagnosa secara tidak sengaja saat melakukan pemeriksaan kesehatan rutin," ujarnya.
Dengan kebutaan yang dapat diakibatkan glaukoma menjadi lebih sulit direhabilitasi jika dibandingkan dengan katarak, pencegahan dan deteksi dini sangatlah penting. Dr. Iwan menambahkan, masyarakat perlu waspada terhadap gejala yang muncul, seperti sakit kepala hebat, pandangan kabur, dan mual. "Pasien yang mengalami glaukoma akut perlu segera menurunkan tekanan bola mata dalam waktu 2 x 24 jam untuk mencegah kerusakan permanen," tegasnya.
Selain itu, mitos yang menyelimuti glaukoma seringkali menjadi penghambat deteksi dini. Berikut adalah beberapa mitos yang perlu dicermati:
Mitos: Glaukoma hanya menyerang orang tua.
- Fakta: Glaukoma dapat terjadi pada siapa saja, termasuk anak-anak dan bayi.
Mitos: Sering main gadget atau membaca dalam gelap menyebabkan glaukoma.
- Fakta: Penggunaan gadget memang dapat membuat mata lelah tetapi tidak secara langsung berakibat pada glaukoma.
Mitos: Jika terkena glaukoma, pasti akan buta.
- Fakta: Dengan pengobatan yang tepat, penderita glaukoma dapat menjaga penglihatan mereka.
Mitos: Glaukoma bisa disembuhkan dengan obat herbal.
- Fakta: Pengobatan modern, seperti obat tetes mata dan terapi laser, tidak memiliki pengganti yang efektif secara herbal.
- Mitos: Glaukoma bukan penyakit keturunan.
- Fakta: Memiliki riwayat keluarga dengan glaukoma dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami kondisi ini.
Kondisi risiko lainnya termasuk usia di atas 40 tahun, tekanan bola mata tinggi, dan penyakit penyerta seperti diabetes. Deteksi dini menjadi sangat penting karena glaukoma sering kali berkembang tanpa gejala. Oleh karena itu, pemeriksaan mata secara rutin harus diutamakan, terutama bagi individu dengan faktor risiko.
Teknologi terbaru dalam screening dan penanganan glaukoma juga sudah tersedia. Prof. Dr. Widya Artini Wiyogo, SpM(K), Head of Glaucoma Service di JEC Eye Hospitals and Clinics, menyebutkan beberapa teknologi penting, termasuk Optical Coherence Tomography (OCT) untuk pengukuran ketebalan saraf optik, dan Tonometri untuk mengukur tekanan bola mata. “Dengan alat-alat modern ini, kita dapat mendeteksi glaukoma lebih awal dan mengatasi masalah ini sebelum menjadi lebih serius,” ungkapnya.
Melalui kampanye edukasi dan akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan mata, JEC Eye Hospitals and Clinics berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya deteksi dini glaukoma. Ketika masyarakat diberdayakan dengan informasi yang tepat, diharapkan dapat menurunkan risiko dan dampak yang ditimbulkan oleh glaukoma.