
Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX, baru-baru ini membuat gebrakan yang mengejutkan di kalangan pegawai federal AS. Dalam sebuah pernyataan, Musk memberi waktu 48 jam kepada pegawai federal untuk melaporkan pencapaian terbaru mereka, dengan ancaman bahwa ketidakpatuhan akan dipandang sebagai pengunduran diri. Langkah kontroversial ini menuai berbagai reaksi, baik dari kalangan pejabat pemerintah maupun akademisi.
Dalam email yang dikirimkan oleh Kantor Manajemen Personalia, pegawai dari berbagai lembaga, termasuk FBI dan Departemen Luar Negeri, diminta untuk menyampaikan ringkasan pekerjaan yang telah dilakukan dalam minggu terakhir. Tanggapan harus dikirimkan paling lambat pada pukul 11:59 malam ET, dengan deadline yang jatuh pada hari Senin malam. Namun, email tersebut tidak mencantumkan detail yang sama dengan pernyataan Musk di media sosial, di mana ia menyatakan bahwa kegagalan untuk menanggapi email akan dianggap sebagai pengunduran diri.
Sam Bagenstos, seorang profesor hukum di Universitas Michigan, menilai klaim Musk tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan berpotensi melanggar hukum federal. “Pemberian ultimatum semacam ini bisa memicu pelanggaran serius, terutama terkait hak para pegawai,” ujarnya. Bagenstos juga menambahkan, bahwa tindakan Musk bisa dianggap sebagai intervensi yang tidak pantas dalam urusan lembaga pemerintah yang diatur oleh hukum.
Hakeem Jeffries, Pemimpin Minoritas DPR, turut memberikan komentar mengenai tindakan Musk. Ia mengungkapkan bahwa langkah tersebut menciptakan trauma bagi pegawai federal dan keluarga mereka, serta menyatakan bahwa Musk tidak memiliki kewenangan untuk membuat tuntutan semacam itu. Jeffries menekankan, tindakan ini mencerminkan rasa tidak hormat terhadap pegawai pemerintah yang selama ini berkontribusi melalui pekerjaan mereka.
Melihat kembali ke masa lalu, aksi Elon Musk ini tampaknya mencerminkan pendekatannya yang agresif saat mengambil alih Twitter. Saat itu, ia juga meminta para insinyur untuk memeriksa kode dan mengancam akan menganggap ketidakresponan sebagai pengunduran diri. Pendekatan serupa ini menunjukkan karakteristik kepemimpinan Musk yang kontroversial—mengharapkan hasil cepat sambil memberikan tekanan kepada bawahannya.
Dalam konteks yang lebih luas, beberapa lembaga, termasuk Badan Keamanan Siber dan Keamanan Infrastruktur, telah memberi arahan kepada pegawai untuk mematuhi instruksi tersebut dengan ketat. Namun, serikat pekerja, seperti Federasi Pegawai Pemerintah Amerika dan Serikat Pegawai Perbendaharaan Nasional, menyarankan anggotanya untuk tidak menanggapi email dari Musk tersebut. Mereka menyatakan bahwa tindak lanjut yang tidak tepat bisa berakibat negatif bagi karir dan kesejahteraan pegawai.
Selama beberapa waktu, Musk telah mengklaim tanpa bukti valid bahwa ia akan menghapus para pegawai yang dianggap tidak produktif dan mengatasi kasus penipuan di tubuh pemerintahan. Namun, data dan statistik yang mendukung klaim tersebut tidak pernah dipublikasikan. Ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut tentang keabsahan dan motivasi di balik pernyataan-pernyataan yang dikeluarkannya.
Kondisi ini juga menimbulkan kepanikan di kalangan pegawai federal, yang sebagian besar telah bekerja dalam sistem pemerintahan dengan tujuan melayani masyarakat. Dengan ancaman yang disampaikan Musk, banyak pegawai merasa tertekan dan bimbang mengenai langkah yang harus diambil selanjutnya.
Kasus ini menciptakan dialog publik yang luas mengenai peran pimpinan di perusahaan swasta berpengaruh seperti Musk dan potensi dampaknya terhadap pegawai pemerintah. Entah itu ulasan hukum, dampak psikologis, atau tanggapan dari serikat pekerja, situasi ini memperlihatkan kompleksitas hubungan antara sektor swasta dan publik di era modern. Dengan tekanan yang datang dari satu pemimpin berprofil tinggi, pertanyaan tentang etika, hukum, dan tanggung jawab sosial menjadi semakin relevan.