Ekonom: Hati-hati! Jangan Obral Dispensasi ke Paman Sam

Pemerintah Indonesia diminta untuk tetap berhati-hati dalam memberikan dispensasi dagang dan investasi kepada Amerika Serikat (AS) dalam rangka negoisasi terkait tarif resiprokal. Meningkatnya ketidakpastian global, terutama setelah kebijakan perdagangan dari pemerintahan Trump, membuat beberapa ekonom mengkhawatirkan kemungkinan dampak yang dihasilkan dari kebijakan tersebut. Salah satu ekonom yang bersuara dalam hal ini adalah Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia, Mohammad Faisal, yang memberikan pandangannya terkait situasi ini pada Rabu (9/4).

Faisal mengungkapkan bahwa penting untuk memikirkan implikasi dari pemberian ‘special treatment’ kepada AS. Menurutnya, prinsip dasar dalam perdagangan global yang diatur oleh World Trade Organization (WTO) adalah perlakuan nondiskriminatif terhadap semua mitra dagang. Jika Indonesia memberikan kebijakan yang lebih menguntungkan kepada negara Paman Sam ini, hal tersebut berisiko memicu tuduhan dari negara lain atas pelanggaran prinsip perdagangan internasional.

Lebih lanjut, Faisal juga mencatat bahwa jika kebijakan serupa diterapkan kepada negara lain, pemerintah perlu mempertimbangkan potensi lonjakan impor. “Dampak terhadap lonjakan impor tidak disinggung, padahal itu perlu diantisipasi. Apalagi sebelum kebijakan Trump, industri padat karya kita sudah tertekan oleh barang impor legal dan ilegal, sampai terjadi gelombang PHK,” ujarnya.

Dalam konteks ini, Faisal menekankan pentingnya skala prioritas apabila Indonesia ingin meningkatkan impor dari AS. Dirinya menyarankan agar fokus pada bahan baku dan penolong yang diperlukan untuk mendukung industri lokal, bukan barang jadi atau barang konsumsi. Misalnya, impor kapas dari AS untuk industri tekstil dapat menjadi langkah strategis yang membantu meningkatkan kandungan lokal produk Indonesia.

Faisal juga mengingatkan bahwa kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) merupakan upaya yang bertujuan untuk mendorong industrialisasi di dalam negeri. Apabila pemerintah bersikap terlalu longgar terhadap aturan TKDN demi mempermudah produk-produk dari AS, seperti iPhone, masuk ke pasar domestik, hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian bagi para investor yang telah mematuhi peraturan tersebut. “Kalau kita mundur dari TKDN, apalagi dengan alasan fleksibilitas, itu bisa menciptakan ketidakpastian, terutama bagi investor yang sudah lama comply dengan aturan itu,” tegas Faisal.

Masalah ini semakin rumit dengan adanya kebijakan muatan lokal yang sebelumnya menjadi penghalang bagi produk iPhone untuk dapat memasuki pasar Indonesia. “Itu yang dituju mereka, terutama karena kita minta Apple memenuhi syarat lokal konten, bangun pabrik, dan penuhi TKDN,” jelasnya.

Di tengah ketidakpastian ini, Faisal memberikan peringatan agar pemerintah tidak mudah goyah hanya karena tekanan dari satu negara maju. “Jangan sampai kita mundur dari proses industrialisasi hanya karena gertakan satu negara mitra. Justru ini area yang bisa kita negosiasikan,” ungkap Faisal.

Data terbaru menunjukan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ditutup menguat ke posisi Rp16.872,5 menjelang negosiasi ini. Momen ini bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan ketegasan dalam mempertahankan kedaulatan ekonomi, tanpa harus tergantung pada kebijakan luar yang berpotensi merugikan industri lokal.

Pengamat ekonomi lainnya juga menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap kebijakan yang diambil. Jika Indonesia tidak hati-hati dalam memberikan dispensasi kepada AS, akan ada konsekuensi serius bagi industri domestik yang harus tetap dilindungi di tengah arus perdagangan global yang semakin kompetitif. Pemerintah diharapkan membuat keputusan yang tidak hanya menguntungkan dalam jangka pendek namun juga berkelanjutan untuk perkembangan ekonomi nasional.

Berita Terkait

Back to top button