
Ford Motor Co. kini menghadapi tantangan besar di tengah ketidakpastian ekonomi global. Dalam laporan terbaru, perusahaan otomotif asal Amerika ini mengungkapkan keuntungan bersihnya merosot sebesar 65 persen pada kuartal I tahun 2025. Yang lebih mencengangkan, Ford memperkirakan akan mengalami kerugian sebesar USD1,5 miliar, setara dengan sekitar Rp25,14 triliun, pada tahun yang sama.
Penurunan laba yang drastis ini terkait erat dengan imbas dari kebijakan tarif yang diberlakukan oleh pemerintah AS. Tarif tersebut mencakup pajak pada kendaraan jadi, baja, aluminium, dan suku cadang impor yang secara signifikan meningkatkan biaya produksi Ford. Hal ini menyebabkan perusahaan harus menghadapi peningkatan yang tajam pada biaya operasional, yang pada gilirannya berdampak buruk pada pendapatan.
Dari data yang dirilis, pendapatan Ford mengalami penurunan sebesar lima persen menjadi USD40,7 miliar. Laba bersih yang tercatat hanya USD471 juta, sebuah angka yang jauh di bawah proyeksi awal. Selain itu, unit grosir perusahaan menurun sebesar 7 persen akibat pelambatan produksi di beberapa pabrik, terutama yang berada di Kentucky dan Michigan. Situasi ini menunjukkan adanya perlambatan yang cukup signifikan dalam kegiatan manufaktur yang menjadi tulang punggung bisnis Ford.
Dalam menghadapi situasi yang menantang ini, Ford telah melakukan berbagai langkah strategis untuk mengurangi dampak dari tarif. Perusahaan berusaha menyesuaikan rantai pasokan dan mengubah cara pengiriman produk ke pasar. Melalui strategi ini, Ford berhasil memangkas dampak tarif sekitar USD1 miliyar, dari total awal yang diperkirakan mencapai USD2,5 miliar. “Tim kami telah melakukan banyak hal untuk meminimalkan dampak tarif terhadap bisnis kami,” ujar Sherry House, Kepala Keuangan Ford.
Meskipun demikian, tidak semua divisi Ford mengalami penurunan. Divisi kendaraan listrik justru melaporkan pengurangan kerugian, menunjukkan adanya potensi pertumbuhan di sektor yang lebih berkelanjutan ini. Namun, penurunan keuntungan tetap terlihat di divisi bisnis besar (Pro) dan mobil berbahan bakar bensin (Blue). Ford juga mengumumkan bahwa pengiriman model-model baru seperti Ford Expedition dan Lincoln Navigator mulai dilakukan pada Maret 2025.
Sebagai bagian dari strategi mitigasi, Ford kini mulai mengalihkan pengiriman dari pabrik di Meksiko ke Kanada sebagai upaya untuk menghindari rute yang dapat terkena tarif AS. Di sisi lain, pemerintah AS diketahui memberikan pelonggaran terbatas terhadap tarif suku cadang, memberikan waktu dua tahun bagi produsen otomotif untuk menyesuaikan rantai pasokan mereka. Ini diharapkan dapat membantu industri otomotif, termasuk Ford, untuk beradaptasi dengan kebijakan yang berlaku.
Tak kalah penting, Ford tetap optimis terhadap proyeksi pendapatan operasional yang diharapkan berada di antara USD7 hingga USD8,5 miliar. Namun, angka tersebut belum mempertimbangkan dampak dari tarif impor yang masih terus membebani perusahaan. Ke depannya, keberlanjutan dan pertumbuhan dalam industri otomotif akan sangat tergantung pada bagaimana perusahaan seperti Ford beradaptasi dengan perubahan dalam kebijakan tarif dan kondisi pasar global.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, kini lebih dari sebelumnya, Ford perlu terus berinovasi dan beradaptasi untuk tetap bersaing di pasar yang semakin kompetitif. Keberhasilan untuk melewati krisis ini akan bergantung pada keputusan strategis yang diambil di masa mendatang.