
Jakarta, Octopus – Proses persidangan kasus suap yang melibatkan dua hakim Pengadilan Negeri Surabaya semakin memanas. Dalam sidang yang berlangsung pada Selasa, 8 April 2025, Hakim Erintuah Damanik memberikan keterangan yang bertentangan dengan alibi yang disampaikan oleh rekannya, Hakim Heru Hanindyo, terkait dugaan penerimaan suap sebesar 140 ribu dolar Singapura.
Keterangan ini muncul di Pengadilan Tipikor Jakarta, di mana Erintuah mengungkapkan bahwa pembagian uang suap tersebut berlangsung pada 10 Juni 2024, di ruang kerja hakim Mangapul Tua. “Saya mendengar Heru beralibi mengatakan bahwa ia tidak ada di Semarang pada saat penerimaan uang. Namun, tanggal 10 Juni, dia jelas berada di Surabaya,” ujarnya tegas.
Menghadapi keterangan ini, Heru Hanindyo menegaskan bahwa ia tak pernah berada di lokasi tersebut. Dalam pernyataannya, Heru menyatakan bahwa ia tidak mendapatkan informasi mengenai pembagian uang dan bahkan tidak hadir di ruang kerja Mangapul pada waktu yang ditentukan. Ia beralibi bahwa pada periode Juni hingga Juli, ia menjalani perawatan kesehatan. “Meskipun dua saksi mengatakan saya ada di sana, faktanya saya tidak berada di ruangannya Pak Mangapul,” kata Heru.
Mengatur kronologi, Heru menjelaskan bahwa dia tak hadir di Pengadilan Negeri Surabaya antara 3 hingga 14 Juni, karena harus menjalani operasi saraf gigi. Ia memberi klarifikasi mengenai keadaan kesehatannya yang mengakibatkan dirinya tidak masuk kantor. “Tanggal 14 itu saya terbang dari Surabaya ke Jakarta untuk operasi lanjutan,” jelas Heru, yang mengklaim bahwa kartu izin dan rekam medis sebagai bukti ketidakhadirannya.
Pembagian uang suap ini, menurut Erintuah dan Mangapul, terjadi dua minggu setelah musyawarah hakim terkait perkara Ronald Tannur. Menanggapi alibi ini, Erintuah berpendapat bahwa meski Heru mengklaim berada di luar kota, tetap ada bukti bahwa ia berada di lokasi saat transaksi berlangsung.
Sementara itu, ketiga hakim yang kini menjadi terdakwa dituduh menerima suap dalam jumlah yang cukup besar, yakni Rp4,67 miliar. Selain itu, mereka juga dituduh menerima sejumlah gratifikasi dalam berbagai bentuk mata uang asing, termasuk ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi.
Dugaan suap ini terkait dengan keputusan bebas Ronald Tannur, yang menghebohkan publik. Dimana kasus ini bukan hanya melibatkan hakim, tetapi juga pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat. Pengacara ini diduga menjadi perantara dalam penyerahan uang suap tersebut.
Pemanggilan saksisaksi dalam persidangan menunjukkan adanya ketegangan dan saling bantah antara para hakim. Masing-masing pihak berusaha membuktikan posisi mereka di persidangan, dengan pengacara Ronald Tannur menuntut keadilan dan menolak semua tuduhan yang menyerang integritas mereka.
Para hakim yang terlibat dalam kasus ini diancam dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 Ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penggunaan pasal ini menunjukkan seriousness over kecurangan yang melibatkan bidang peradilan.
Dengan bukti dan argumen yang saling bertentangan, sepertinya sidang ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Hal ini menambah ketegangan di kalangan berbagai pihak yang menunggu kepastian hukum dan tindakan pencegahan terhadap penyalahgunaan wewenang di masa depan. Perkembangan persidangan akan terus dipantau, mengingat efek jangka panjang yang bisa ditimbulkan oleh keputusan yang diambil oleh hakim.