
Di pengadilan di San Isidro, Buenos Aires, dugaan kelalaian yang melibatkan tim medis yang merawat Diego Maradona terus berlanjut. Pada Selasa, 8 Mei 2025, mantan istri Maradona, Veronica Ojeda, dan dokter Mario Alejandro Schiter memberikan kesaksian yang menyoroti keputusan kontroversial untuk memulangkan Maradona setelah menjalani operasi pada tahun 2020. Kesaksian ini semakin menambah bukti dalam kasus tujuh profesional medis yang dihadapkan pada tuduhan kelalaian yang mengarah pada kematian sang legenda sepak bola.
Maradona, yang membawa Argentina meraih gelar Piala Dunia 1986, meninggal pada 25 November 2020. Usianya saat itu adalah 60 tahun. Schiter, yang berpengalaman merawat Maradona selama dua dekade termasuk dalam masa-masa sulit ketika Maradona berjuang melawan kecanduan, menyatakan bahwa Maradona seharusnya dirawat di klinik rehabilitasi, tempat yang lebih aman daripada rumah. “Dia seharusnya pergi ke klinik rehabilitasi, tempat yang lebih aman baginya,” ungkap Schiter di hadapan pengadilan. Ia mengungkapkan bahwa ia tidak dapat menyarankan perawatan di rumah yang belum siap, mengingat sejarah kesehatan Maradona yang rumit.
Alasan di balik keputusan untuk membawa Maradona pulang menjadi sorotan utama dalam persidangan ini. Ojeda menjelaskan bahwa dokter pada saat itu meyakinkan keluarga Maradona bahwa pemindahan ke rumah adalah langkah yang tepat. Namun, setelah kejadian itu, ia merasa dibohongi dan menilai perawatan yang diberikan kepada Maradona tidak memadai. Ia menambahkan, “Mereka berbohong kepada kita semua, kepada seluruh keluarga, itu memalukan.” Kritik terhadap keputusan ini semakin tajam, terutama ketika diketahui bahwa rumah tempat Maradona tinggal tidak dilengkapi dengan peralatan medis yang diperlukan untuk perawatan yang layak.
Jaksa penuntut sependapat dengan pernyataan antara Ojeda dan Schiter, menyimpulkan bahwa tim medis yang terdiri dari dokter, psikiater, psikolog, dan perawat telah gagal dalam memberikan perawatan yang memadai. Semua ini didasarkan pada laporan dan autopsi yang menunjukkan bahwa ada kegagalan dalam manajemen kondisi kesehatan Maradona yang akhirnya mengarah pada gagal jantung. Schiter, yang juga mengamati autopsi jenazah Maradona, menegaskan bahwa semua bukti menunjukkan adanya kelalaian dalam perawatan yang diberikan.
Dugaan kelalaian ini tidak hanya menyeret nama-nama besar di dunia medis, tetapi juga membawa dampak emosional yang mendalam bagi keluarga Maradona. Tawaran jaminan perawatan di klinik rehabilitasi yang terlewatkan kini menjadi penyesalan bagi keluarga, yang merasa Maradona sendirian dalam masa kritisnya. “Diego sendirian, tidak ada seorang pun di sana, hanya pengawalnya,” ungkap Ojeda, mencerminkan keterasingan yang dialami oleh mantan suaminya pada saat-saat terakhir hidupnya.
Persidangan ini juga menarik perhatian publik dan media, terutama mengingat status Maradona sebagai ikon olahraga dunia. Setiap kesaksian dan bukti yang diajukan di pengadilan menjadi momen penting untuk mengevaluasi praktis medis dan etika perawatan dalam situasi serupa.
Kejadian ini menciptakan gelombang protes dan ketidakpuasan dari pihak keluarga, yang merasa bahwa penanganan medis yang tepat seharusnya diutamakan. Maradona yang dikenal sebagai bintang olahraga, kini menjadi sorotan bukan hanya karena prestasinya di lapangan, tetapi juga karena tragedi yang mengelilingi kematiannya. Kasus ini mengajukan pertanyaan mendalam tentang tanggung jawab profesional medis dan perlunya sistem yang lebih baik dalam menangani pasien dengan kondisi yang kompleks.
Persidangan ini dianggap sebagai langkah awal untuk membuat akuntabilitas dalam dunia medis, serta memberikan keadilan bagi Maradona dan keluarganya yang hingga kini masih berjuang mencari kebenaran seputar kematiannya yang mendadak. Keputusan dan peristiwa yang terjadi dalam penanganan Maradona memberikan pelajaran berharga untuk masa depan, terutama dalam penanganan kasus-kasus medis yang melibatkan orang-orang dengan sejarah kesehatan yang rumit.