
Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini mengumumkan bahwa Ukraina dan Rusia telah mencapai kesepakatan prinsip untuk menghentikan penggunaan kekuatan di Laut Hitam. Namun, Kremlin mengungkapkan bahwa perjanjian tersebut masih harus memenuhi beberapa syarat sebelum dapat diimplementasikan sepenuhnya. Kesepakatan ini mencerminkan upaya yang dilakukan oleh AS dalam mediasi konflik yang berlangsung lebih dari satu tahun ini.
Dalam beberapa hari terakhir, perwakilan AS telah mengadakan serangkaian pertemuan terpisah dengan delegasi dari kedua negara di Arab Saudi. Dari hasil pertemuan tersebut, Gedung Putih merilis pernyataan yang menegaskan pentingnya memastikan navigasi yang aman, menghentikan penggunaan kekuatan, serta mencegah pemanfaatan kapal dagang untuk kepentingan militer di Laut Hitam.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menyatakan dukungannya terhadap kesepakatan tersebut dalam sebuah konferensi pers di Kyiv. Namun, dari pihak Rusia, pernyataan yang disampaikan oleh Kremlin menunjuk bahwa mereka hanya akan melanjutkan dan menerapkan kesepakatan itu jika sanksi-sanksi terhadap sektor perbankan serta ekspor pangan dan pupuk Rusia dicabut. Sanksi-sanksi ini berlaku sejak Februari 2022 sebagai respons terhadap invasi Rusia ke Ukraina.
Zelensky menegaskan bahwa Rusia telah mencoba memanipulasi isi kesepakatan dengan menambahkan persyaratan baru. “Mereka sudah mulai mencoba memutarbalikkan perjanjian ini dan menipu mediator serta seluruh dunia,” ungkapnya dalam pidato malamnya. Di lain pihak, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan bahwa Rusia mengharapkan kesepakatan yang lebih seimbang dan adil, dengan menekankan bahwa dalam kesepakatan sebelumnya, semua kewajiban yang dijalankan Rusia diabaikan.
Gedung Putih tidak menjabarkan detail terkait syarat dari Rusia, tetapi terlihat bahwa AS menawarkan berbagai insentif untuk mendorong Rusia dan Ukraina mematuhi kesepakatan ini. Beberapa insentif tersebut mencakup bantuan dalam mengembalikan akses Rusia ke pasar global untuk ekspor pertanian dan pupuk, penurunan biaya asuransi maritim, serta akses yang lebih baik ke pelabuhan dan sistem pembayaran untuk transaksi perdagangan.
Sejumlah langkah implementasi yang dibahas dalam kesepakatan ini mencakup pengembangan larangan serangan terhadap fasilitas energi yang ada di Rusia dan Ukraina. Dalam hal ini, Ukraina telah memberikan daftar fasilitas energi yang ingin dilindungi dan Rusia juga telah mengajukan daftar serupa, termasuk berbagai infrastruktur penting seperti kilang minyak, pipa minyak dan gas, serta pembangkit listrik.
Pelaksanaan moratorium terhadap serangan fasilitas energi ini diusulkan untuk dimulai pada 18 Maret dan direncanakan berlangsung selama 30 hari dengan kemungkinan perpanjangan. Namun, Zelensky menolak klaim Rusia mengenai awal mula moratorium tersebut, menyatakan bahwa hal itu merupakan upaya Kremlin untuk berbohong.
Meskipun pertemuan antara AS dan Rusia yang berlangsung di Riyadh bertujuan untuk mencapai gencatan senjata, tidak ada pernyataan bersama yang dirilis. Beberapa pihak menganggap bahwa ketidakhadiran pernyataan bersama ini mencerminkan posisi Ukraina yang tidak sejalan dengan Rusia. Dalam kesempatan terpisah, menteri pertahanan Ukraina, Rustem Umerov, merasakan hasil pertemuannya dengan utusan AS sebagai konstruktif dan terfokus, meski tidak ingin menjanjikan hasil konkret.
Sementara itu, pernyataan Presiden AS menjelang pertemuan mendatang menyoroti pentingnya penghentian penggunaan kekuatan di Laut Hitam dan tidak menjanjikan gencatan senjata yang komprehensif. Hal ini menandai pentingnya kesepakatan ini untuk tak hanya menanggulangi konflik yang berkepanjangan, tetapi juga untuk memastikan navigasi dan perdagangan yang aman di wilayah yang strategis ini.
Kesepakatan yang tengah dinegosiasikan ini seakan memberikan harapan bagi dunia internasional dalam menciptakan solusi damai, meskipun banyak tantangan dan persyaratan yang dihadapi. Ukraina, sebagai salah satu eksportir gandum terbesar, sangat bergantung pada stabilitas di Laut Hitam untuk melanjutkan ekspor produknya. Adanya kondisi-kondisi yang sulit memenuhi harapan akan keadilan dan kesepakatan yang berimbang membuat dinamika antara kedua negara tetap rumit dan penuh ketidakpastian.