
Departemen Kehakiman AS (DOJ) kembali menekankan pentingnya divestasi dari peramban web Google, Chrome, dalam dokumen pengadilan yang diajukan pada 7 Maret 2025. Panggilan untuk menjual Chrome ini, yang pertama kali diajukan di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, terus dipertahankan meskipun ada perubahan dalam administrasi.
Dalam dokumen tersebut, DOJ mengklaim bahwa “tindakan ilegal Google telah menciptakan raksasa ekonomi yang mengacaukan pasar untuk memastikan bahwa—apa pun yang terjadi—Google selalu menang.” Pernyataan ini disampaikan oleh Omeed Assefi, penjabat Jaksa Agung untuk antimonopoli, yang menandakan bahwa kementerian tidak akan mengubah aspek penting dari proposal awalnya, termasuk pelepasan Chrome. DOJ also menegaskan larangan terhadap Google untuk melakukan pembayaran kepada mitra distribusinya terkait dengan pencarian, sebuah langkah yang bertujuan mengembalikan keadilan dalam persaingan pasar.
Menariknya, dalam perkembangan terbaru, DOJ tidak lagi menuntut agar Google melepaskan seluruh investasinya di sektor kecerdasan buatan (AI). Sebelumnya, mereka menuntut divestasi atas miliaran dolar yang diinvestasikan Google kepada perusahaan AI, Anthropic. Namun, saat ini, mereka hanya meminta pemberitahuan sebelumnya untuk investasi masa depan di bidang AI, bukan divestasi dari investasi yang sudah ada. Ini menunjukkan adanya penyesuaian dalam pendekatan DOJ terhadap sektor teknologi yang berkembang pesat ini.
Meskipun penyelidikan dan tuntutan hukum rejimen antimonopoli terus berlanjut, tidak ada opsi diberikan kepada Google untuk segera melepaskan Android. Keputusan mengenai hal ini pun akan bergantung pada pengembangan pasar yang akan datang, termasuk seberapa kompetitif industri teknologi akan menjadi di masa mendatang.
Proposal ini muncul setelah gugatan antimonopoli yang diajukan oleh DOJ bersama dengan 38 jaksa agung negara bagian. Kasus ini mengarah pada keputusan Hakim Amit P. Mehta, yang menemukan bahwa Google secara ilegal mempertahankan monopolinya di pencarian online. Dalam menghadapi tantangan hukum ini, Google berencana mengajukan banding terhadap keputusan tersebut. Namun demikian, perusahaan tersebut juga telah menawarkan proposal alternatif yang diharapkan dapat menjawab kekhawatiran hakim dan memberikan lebih banyak fleksibilitas kepada mitra distribusi mereka.
Juru bicara Google mengungkapkan kepada Reuters bahwa proposal DOJ yang dianggap terlalu luas sebenarnya melampaui keputusan pengadilan. Mereka juga menekankan bahwa dampak dari langkah-langkah yang diusulkan dapat merugikan konsumen AS, ekonomi, serta bahkan keamanan nasional.
Dengan latar belakang gugatan antimonopoli yang sedang berlangsung, hak untuk mengontrol pasar teknologi menjadi semakin penting. Hakim Mehta dijadwalkan untuk mendengarkan argumen dari kedua pihak, Google dan DOJ, pada April 2025, yang akan menjadi momen krusial dalam menentukan arah kebijakan antimonopoli di AS.
Sementara itu, divergensi pandangan antara pemerintah dan raksasa teknologi ini mencerminkan dinamika kekuasaan di era digital. Google, sebagai pemain dominan di pasar pencarian dan perangkat lunak, berusaha mempertahankan posisinya, sementara DOJ berupaya menghasilkan kondisi pasar yang lebih seimbang. Dengan terus mendesak agar Chrome dijual, DOJ menunjukkan komitmennya terhadap kebijakan antimonopoli, meski hal ini memicu perdebatan mengenai dampaknya terhadap inovasi dan pilihan konsumen.
Dengan situasi yang masih berkembang, perhatian terhadap penanganan monopoli di sektor teknologi selalu menjadi diskusi penting di kalangan pembuat kebijakan, perusahaan, dan masyarakat luas.